Skip to main content

KAMISAN #5~Wishy Washy~ Nona Wishy Washy



Nadia lupa membungkus makanan yang sudah ia buat untuk Mas Roji. Makanan itu masih ditaruh dalam kantong kresek hitam dalam laci mejanya. Ia hanya duduk mencoret kertas dan tidak memperhatikan Malika yang berdiri di depannya. Malika menyodorkan kertas undangan acara pada Nadia. Nadia terperanjat, ia kaget dan menaruh mukanya di atas meja.
“Aku izin. Aku ndak semangat mau pergi.”
“Tapi kan kau yang janji, Nad. Aku juga sudah kadung janji dengan Keriting Koli. Dan ini tugas kantor.”
Nadia membuka laci dan memperlihatkan makanan itu. “Sumpah. Aku kehilangan mood karena ini.”
“Ya ampun.” Malika mendengus kesal. Ia duduk di kursinya sendiri. Dari tempat ia duduk ia perhatikan Mas Roji yang tengah mengetik surat. Pikirnya Nadia jatuh cinta di saat yang tidak tepat. Mas Roji kemarin baru saja menyatakan bahwa ia menyukai seorang perempuan. Malika meminta Nadia mengirimkan makanan itu segera sebelum Mas Roji sarapan di luar kantor.
Nadia menggeleng. Ia masih panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali ia menyatakan Mas Roji adalah lelaki paling membosankan, tetapi dua hari lalu ia merasa Mas Roji ada dalam pikirannya. Malika tertawa keras dan membuat Keriting Koli bicara.
“Kau menertawakan siapa, Lika?”
“Tidak Koli. Aku tidak menertawakanmu. Aku hanya menertawakan Nadia. Betapa plin-plannya dia.”
“Hei aku tidak seperti itu. Dan kau Koli, bersihkan mejamu.  Aku tidak suka melihatnya.” Nadia bersungut
“Ah, jangan menyebalkan begitu nona wishy washy. Ini mejaku.”
“Hei kenapa kalian ribut?” tiba-tiba Mas Roji bicara dan tiga perempuan itu terdiam. Malika menunjuk kertas undangan kantor. Mas Roji menghampiri Malika. Dilihatnya kertas itu. “Jadi tidak ada yang mau datang ke sini?”
“Harusnya ini giliran Nadia, Mas. Tapi Nadia tidak enak badan,” jawab Malika tanpa melihat ekspresi Nadia.
“Ya sudah aku saja yang pergi,” ucap Mas Roji.
“Oh aku sehat. Sehat sekali, Mas. Aku bisa menemani Mas.” Malika menegapkan punggungnya.
Keriting Koli kembali bersuara “Dasar nona wishy washy. Baru tadi ngomong A eh udah ke C aja.”
“Jangan sirik Koli.”
“Ya sudah.  Kita pergi berdua.” Mas Roji kembali ke meja kerjanya.  Malika geleng-geleng kepala dan menaruh kain kotor ke meja Nadia. “Plis jangan buang itu di hadapanku. Ayo cuci tanganmu Malika.”
 Malika terkekeh dan beberapa menit setelah itu Bos mereka masuk dan memanggil Mas Roji. Bos meminta lelaki itu untuk pergi ke pabrik. Dengan berat hati Mas Roji kembali mengatakan bahwa ia tidak akan pergi ke undangan itu. Bos sudah menyuruhnya ke tempat lain. Nadia kecewa. Ia menolak pergi dan membuat Malika kesal.
“Kali ini aku setuju kalau Koli mengatai dirimu sebagai nona wishy washy. Ah, aku ndak mau tahu. Kau katakan hal itu pada bos, Nadia. Aku tidak bisa membantumu kali ini.”
Malika meninggalkan ruangan dan menghempaskan pintu. Keriting Koli juga diam saja dan asik mengunyah makanannya. Di meja, Nadia menaruh kepalanya dan menatap bungkusan di laci dengan sangat lama.***


*wishy washy didefinisikan dengan sifat lemah, plin-plan dan cepat berubah disertai rasa percaya diri yang kurang. 




Comments

  1. Gaya bahasanya enak sebenernya, tidak berbelit-belit. Tapi kenapa aku ndak langsung mudeng ama ceritanya ya? Kayak ini diambil dari potongan adegan di sebuah novel hehe XD. Aku baca sekali lagi yo Kak Cik. Yg penting udah meniggalkan jejak di mari hihi :p.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”