Skip to main content

Kamisan #3 ENDORFIN ~ Katakan Cinta~




“Hei kau tak perlu berteriak seperti itu. Tenanglah.”
Malika terdiam. Dadanya naik turun sehabis menjerit sekuat tenaga. Di  hadapannya Tamim menarik satu kursi kayu dan duduk di sana
“Kau pikir aku setan? Aku memanggilmu sejak tadi.”
“Ka…kau…?” Malika gugup. Sangat gugup. “Kenapa kau ada di sini?”
Lelaki itu. Malika ingat betul bagaimana wajah Tamim yang merah padam setelah mendapat penolakan darinya ketika berada di Batam.
“Aku bukan anak kecil, Lika. Aku bisa kemana saja aku mau.”
“Kau yang mengirimi aku kartu itu? Kenapa?”
“Tentu saja untuk kejutan.”
“Kejutan?”
“Apa kau senang?”
“Tidak. Aku tidak suka caramu.”
“Tapi aku bahagia. Menghubungimu membuatku menjadi tenang.”
“Dengan cara begini? Kau harusnya belajar, Tam. Bagaimana kau bisa menarik hati seseorang.” Malika mendengus kesal. Ia bisa menguasai degup jantungnya kembali. Lelaki itu tersenyum. Membuka kotak rokok dan memantik api. Tak lama asap tipis melayang-layang di hadapannya.
“Memandangmu ribuan kali, mendengar suaramu saat ini dan melihat bagaimana kau membaca kartu itu telah membuatku bahagia. Seperti endorfin. Ah, kata-kata itu kucari di kamus. Dan belakangan aku berusaha menulis syair untukmu.
“Apa? Morfin?”
“Endorfin.”
“Kau sakit?”
“Aku sehat. Aku hanya sakit jika kau tak ada. Terakhir berjabat tangan denganmu saat di Batam membuat separuh rasa sakit itu muncul. Aku mencari tahu tentangmu dan akhirnya membawaku kemari. Aku betul-betul serius.”
“Maafkan aku,” ucap Malika setelah laki-laki itu diam.
“Untuk apa?”
“Membuatmu seperti ini. Kau pasti tersiksa.”
Laki-laki itu kemudian duduk di samping Malika. Menyentuh telapak tangannya. Malika terkejut tapi tak bereaksi apa-apa. Ia diam saja.
“Jangan serius seperti ini Tamim. Perasaanmu terlalu cepat. Aku takut.”
“Takut? Ini bukan seperti yang kau pikirkan. Kau takut aku bermain-main, begitu? Ayolah. Aku tahu siapa kau. Aku tahu perasaanmu lewat syair-syair itu. Harusnya kau mengenalku beberapa tahun sebelum aku mengatakan cinta. Begitu kan? Rasa nyaman itu sudah ada saat kita bertemu. Kau membantuku menulis nama dalam sebuah formulir. Kau juga yang menyentuh pundakku saat di Batam aku gugup maju ke hadapan orang-orang. Kau adalah sumber kebahagiaanku. Kau paham?”
“Jadi aku endorfin itu?”
“Tepat sekali.”
“Harusnya setelah ini kau mengajar ilmu pengetahuan alam di sekolah.”
Tamim berkerut kening. Heran.
“Ah. Sudahlah. Kau pikirkan saja sendiri. Terserah dirimu aku mau dianggap Endorfin atau apalah yang mau kau sebut. Satu hal yang perlu kau lakukan pertama kali adalah membelikan aku makanan untuk malam ini. Aku lapar. Kartumu itu membuatku mual.”
“Serius? Kita jadian?”
Malika tak mendengarkan perkataan Tamim. Malika masuk ke dalam kamar dan tersenyum-senyum mengingat perkataan Tamim. Endorfin. Jadilah endorfinku.

Sekian.

Comments

  1. jadilah endorfinku :3
    jadilah endorfinku :3
    jadilah endorfinku :3


    #mantraJomblo -.-)9

    ReplyDelete
  2. Maafkan aku klo bacanya jadi merasa horor dan bukannya romantis .__.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”