Skip to main content

Kamisan #8 PERLINA ~Gaun dan Sepatu~



Malika tersenyum melihat Mas Roji menunggu dirinya di parkiran. Dua jam lalu mereka memang bersepakat akan pergi ke suatu tempat berdua saja. Tidak ada teman yang tahu. Bahkan Nadia. Malika naik ke dalam mobil dan mendesah.
“Mas yakin ini tidak apa-apa?” tanya Malika dengan raut wajah menyesal.
“Tentu saja. Aku ingin kau membantuku memilihkan gaun untuk seseorang.”
“Tapi…”
“Kenapa lagi.”
“Sudahlah. Ayo kita pergi.”
Mobil melaju dan Malika termenung. Sebelum keluar ruangan, Nadia sudah mengatakan padanya untuk segera pulang lebih dulu. Nadia tidak bisa pulang bersama karena lembur dan Malika malah berbuat sesuatu yang pastinya menyakiti Nadia. Tapi Mas Roji sendiri telah mempunyai seseorang yang ia sukai. Malika harus memberitahu sahabatnya itu untuk segera menghapus perasaannya agar perlina.
Ah Malika ingat kata itu. Kata yang ditulis Nadia di atas kertas dengan tinta merah. Perlina yang artinya pupus. Barangkali Nadia ingin menghapus kekagumannya. Malika tambah bersedih mengingat itu semua.
“Kita sudah sampai.” Mas Roji membuka pintu mobil dan menuntun Malika masuk ke sebuah toko pakaian yang sangat besar.
“Serius, Mas? Jika aku ngebantuin Mas mau membelikanku sepatu? Ah, Mas aku tidak maksa loh.” Malika menggodanya. Mas Roji mengangguk dan sebuah senyuman membuat Malika kegirangan. Dalam pikirannya sekarang ia akan punya sepatu boots yang paling keren.
Setelah hampir satu jam memilah-milih pakaian. Malika menunjuk satu gaun malam berwarna coklat panjang. Malika berkata perempuan yang akan dihadiahi gaun itu pasti akan senang. Mas Roji mendengarkan Malika dengan antusias. Malika juga senang tatkala janji membelikan ia sepatu bakal kesampaian.
Namun saat keluar dari toko itu dan mencari sepatu yang ia inginkan, Malika tidak menemukan apa yang ia lihat beberapa hari lalu di pajangan sepatu. Malika sedih dan tidak bersemangat lagi.
“Kita bisa cari di tempat lain.” Mas Roji mencoba menenangkannnya.
“Tapi mas, itu cuma edisi spesial. Tidak ada di tempat lain. Rasanya ini sama seperti perasaan Nadia kepada Mas. Arghh… Perlina ! hilang sudah semangatku.” Malika kesal dan melempar tubuhnya ke dalam mobil.
“Ya sudah. Ini untukmu.” Mas Roji menyerahkan tas berisi pakaian itu ke pangkuan Malika. Perempuan itu terperanjat. Ia langsung menolak.
“Harga gaun ini tidak sebanding dengan sepatu itu, Mas. Lagipula ini untuk perempuan itu.”
“Kalau aku mau kasih ke kamu ya terima saja. Jangan pikirkan hal lain.”
“Tapi Mas.”
“Kamu jangan nolak. Aku sudah memberikannya.”
“Serius? Mas tidak akan memotong gajiku, kan?”
“Tidak. aku serius. Kamu mau apa tidak?”
“I…iya. Kumohon jangan sampai Nadia…”
“Hm Baiklah. Kalau itu permintaanmu. Perlina…perlina…”
“Mas tahu kata itu juga? Mas memperhatikan Nadia juga rupanya.” Malika terpana
“Bagaimana aku tidak memperhatikan tulisan di mejanya dengan ukuran sangat besar itu. Sudahlah. Ayo pulang.”
Malika menahan senyumnya. Gaun itu telah jadi miliknya tetapi sepatu yang ia idamkan hilang. Tepatnya telah dibeli orang lain. Malika hanya tak bisa membayangkan raut wajah Nadia jika tahu gaun itu pemberian dari Mas Roji.

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”