Skip to main content

Cerpen MAYAN (Padang Ekspres, 23 Nov 2014)


Oleh Cikie Wahab

Kami masih duduk mengelilingi sebongkah tanah berwarna merah yang tadi malam ditemukan keparat itu dari hamparan ladang. Bongkahan yang padat itu tampak seperti batu, namun ketika Mayan menggerus benda itu dengan ujung kukunya yang runcing, butiran halus bertaburan ke atas papan. Mayan melihat diriku dan si keparat dalam tempo cepat. Ia membuatku seperti ditikam dengan pernyataan yang mengakibatkan separuh denyut nadiku berdetak cepat.
Mayan bangkit dari duduknya dan membuka jendela. Seketika itu angin kemarau masuk dan memberi aroma ilalang kering ke syaraf hidungku. Aku ingin bersin dan secepatnya mengeluarkan sehelai tisu dari dalam saku celana yang koyak.
Di sudut ruangan, keparat yang dipukuli Mayan tadi malam tergolek di atas kursi papan. Wajahnya lebam dengan coretan dari ujung kuku yang runcing itu. Mayan bisa saja mengambar kepala singa di wajah si keparat. Tetapi ia melihat keparat itu dengan sediki pertimbangan. Kasihan, jika istri si keparat melihat wajah itu saat mereka hendak berkencan di malam yang gulita. Ucapan Mayan membuatku sedikit tersenyum.
Kembali pada tanah merah itu. Mayan kemudian bicara.
“Aku telah mengelilingi ratusan ladang  dan berbicara dengan banyak petani. Tetapi aku tidak peduli bagaimana cara mereka menaruh benih dan menunggu berminggu-minggu hanya untuk melihat hasil yang memuaskan. Aku meminta apa yang telah mereka ambil dari kantong uangku. Dan membayarnya dua kali lipat. Tapi si keparat itu sudah membuat aku marah dengan membawa bongkahan tanah sekedar menunjukkan ia sudah sampai di tempat  itu.”
Keparat itu terbatuk-batuk. Ia tidak bicara tetapi dari sorot matanya aku melihat ia ingin membela diri. Aku belum berani bicara saat Mayan menaruh satu kakinya ke perut si keparat. Aku ingin sekali menahan lengan lelaki itu. Tetapi satu pukulan bukannya menghantam ke wajah melainkan ke sebuah foto telanjang seorang artis perempuan.
Aku mencoba membuat Mayan lupa akan kemarahannya. Jika tidak ia bisa saja membuat satu orang mati seperti minggu lalu saat di sebuah sumur besar di tengah ladang, ia menjatuhkan seorang lelaki dengan tangannya sendiri ke dalam air yang menggenang.
“Apa yang kau lakukan dengan anak gadis petani itu?” Mayan membentak dan membuatku menggigil berada di belakangnya. Lelaki yang ada dalam cengkraman Mayan seolah-olah tidak merasa bersalah dengan apa yang dikatakan Mayan. Sebab ia diam saja dan melihat ke langit.
“Aku hanya menemukan pintu yang rusak. Sebagai pemilik kunci aku berhak memastikan pintu itu untuk layak kuhuni.”
Mendengar itu Mayan melepaskan satu pukulannya ke wajah lelaki. Lelaki itu pasti kesakitan saat ia meringis. Namun ia sedikitpun tidak melawan.
“Mayan. Kami menghormatimu. Lakukanlah sesuai apa yang kau inginkan.”
“Kubenamkan dirimu dalam penyesalan terpanjang karena menodai gadis itu.” Mayan membuat lelaki itu roboh ke tanah yang digenangi air hitam. Lelaki itu tersenyum dan tak berkutik. Untuk beberapa saat kemudian ladang terasa sangat mencekam dari hari lainnya. Aku melihat Mayan yang menghela napas dan kelihatan lelah atas apa yang baru saja terjadi. Seketika ia memandangiku dan matanya tetap saja membuat aku ikut merasa cemas.
Ia bicara setelah mencuci tangannya.
“Aku telah mengelilingi ratusan ladang dan berbicara dengan banyak petani. . Tetapi aku tidak peduli bagaimana cara mereka menaruh benih dan menunggu berminggu-minggu hanya untuk melihat hasil yang memuaskan. Aku meminta apa yang telah mereka ambil dari kantong uangku. Dan membayarnya dua kali lipat. Tetapi lelaki ini membuat seorang petani tak mampu membayar karena anak gadisnya hamil. Aku tidak tahan untuk membuatnya merasakan perih hal tersebut.”
Aku mengitari ia yang berjongkok. Aku merasa ia tak sepenuhnya bersalah, sehingga alasan itulah yang membuatku bertahan berada dalam setiap kejadian dengannya. Ia tak pernah membuatku lari terbirit birit seperti kambing-kambing petani yang kerap gelisah karena srigala datang.  Maka aku selalu menemani ia untuk sekedar melihat apa yang tengah ia lakukan.
Awal mula keikutsertaanku pada Mayan tentu  bukan merupakan cerita yang singkat. Barangkali kalian bosan membayangkan bagaimana dua sosok bertemu dan berikrar untuk saling berjalan bersamaan. Terdengar menjijikkan bagi sebagian kaum yang menganggap dua benda saling ketergantungan. Dan ah. Tentu saja bukan pada bagian itu aku harus menceritakannya.
Mayan bukannya tak pernah marah padaku.  Jika di bandingkan diriku yang kurus kerempeng, Mayan memiliki tubuh yang berotot dan  rupawan. Aku menandai ketampanannya saat berada di keramaian. Belasan perempuan yang berada di sana tak berhenti melihat ia dan berdecak kagum. Tentu saja Mayan melangkah dengan gerakan yang tidak dibuat-buat. Mayan tahu apa yang tengah ia pentaskan akan membuat orang-orang bertepuk tangan, tetapi Mayan mengambil tempat seperti seorang sutradara. Biar saja orang berkata sesuai kemampuan otaknya.
Sekali lagi Mayan mengeluarkan ejaan yang bergema. Dalam kantong uangnya ia memiliki satu butir permata berwarna merah delima. Ia tak pernah mengatakan darimana ia mendapatkan benda itu. Hanya saja seorang petani curiga kalau benda itu adalah jimat keperkasaan Mayan.
Maka Mayan memarahiku dua kali. Satu kali saat aku mencoba mengintip ia di dalam ruangannya pada pukul dua belas malam. Ia tengah meringkuk di atas tempat tidur dengan beberapa tanaman hias di sampingnya. Mayan memang belum sempat tertidur dan melihatku di balik pintu. Aku terkena pukulan tangannya dan suara kemarahannya menggelegar seperti petir. Kali kedua aku dimarahi Mayan adalah ketika benda merah delima itu bergulir dari kantong duitnya dan jatuh ke kakiku. Aku meraih benda itu dan mengelus-elusnya. Hal sekecil itu membuat Mayan memarahiku habis-habisan. Membuatku bungkam dengan gigi patah di geraham. Aku mulai berhati-hati melakukan apapun setelah dua kejadian itu.
Anehnya, kesalahan besar yang aku lakukan terkadang diabaikan oleh Mayan. Seperti misalnya. Aku menumpahkan segelas kopi ke baju Mayan yang sudah rapi di atas kursi. Seharusnya ia berangkat sepuluh menit lagi, tetapi ia diam dan menarik napasnya. Dada berotot itu naik turun dan ia menyuruhku kembali membuat kopi sementara ia mengambil baju lain dari lemari.
Lalu saat aku lupa menagih janji pembayaran dari para petani. Aku menyebabkan kelalaian sebab tak tega melihat petani itu membayar melebihi apa yang sudah mereka gunakan. Aku melihat Mayan menggaruk-garuk perutnya yang rata dan sendawa dengan begitu keras. Diabaikannya wajahku yang berkeringat karena ketakutan. Ia masuk ke kamarnya dan tidur cukup lama.
Begitulah aku mengenal Mayan dengan berbagai kemungkinan yang terjadi di antara kami. Sama seperti hari ini Mayan masih berdiri di samping keparat berkepala lancip itu. Muka keduanya sama-sama tenang, hanya aku yang tidak tahu harus berbuat apa selain melihat dan mendengarkan semuanya.
Aku melihat lambaian dari jendela yang terbuka. Lambaian seseorang yang membutuhkan pertolongan. Tanpa berkata pada Mayan aku bergegas keluar pintu dan mencari orang tersebut. Orang yang kumaksud berdiri dengan jarak pandang yang dekat. Ia kelihatan sangat membutuhkan pertolongan tetapi aku tidak tahu kalau ia tengah berhadapan dengan seekor babi hutan yang menyelinap ke ladang-ladang. Aku semakin menggigil.
Namun untungnya Mayan datang dan menikam babi hutan itu dengan satu kali tusukan ke bagian punggung. Seketika babi hutan itu rubuh ke tanah dan Mayan melempar pisau ke arahku untuk segera dicuci. Aku gelagapan. Seseorang itu berterima kasih padaku dan menyelipkan dua lembar uang ke dalam saku celanaku yang koyak. Aku menggeleng.
Mayan tersenyum sinis dan pergi dengan segera. Aku terburu-buru masuk ke dalam rumah dan mengamati si keparat dengan rasa jumawa karena diberi uang oleh seseorang tadi. Keparat itu berkata seperti ini.
“Ketahuilah anak muda. Ada hal yang tidak kau sadari dalam dirimu. Kau tampak lugu dan beringas dalam waktu berbeda. Jika seandainya saja ibumu datang saat kau menjadi lelaki paling bangsat yang pernah kukenal, maka ibumu akan membuat tangisan serupa darah. Tapi bilamana ia melihatmu seperti ini, mengigil dan tampak tak berdaya dengan sekeliling. Ibumu berupaya tidak akan membiarkan kau sendirian dalam ketidakwarasanmu.” Setelah keparat itu berkata ia terbatuk-batuk. Aku tak melihat kemana Mayan setelah ia menikam babi hutan tadi. Aku sesungguhnya takut melihat darah dan jijik pada pukulan atau teriakan. Seharusnya Mayan tidak membiarkan keparat ini diam di dalam rumah dan aku tidak menemukan ketenangan dalam menyempurnakan doa.
Terdengar pintu diketuk seseorang. Aku bangkit dan melihat keluar. Seorang petani dengan wajah ketakutan menyodorkan bungkusan uang ke tanganku.
“Terimalah ini, Mayan. Kami hanya punya sedikit. Tetapi biarkanlah lelaki itu kami bawa pulang. Kasihani dia. Istrinya terus menanyakan dirinya.”
Aku terkesiap dan menepikan tubuhku agar petani tadi dapat masuk ke dalam rumah dan menemui keparat itu di dalam.
“Lain kali aku akan bekerja lebih baik, Mayan. Simpanlah tanah merah itu sebagai kenang-kenangan. Jika kau ingin memukulku seperti tadi, lakukan jika kau tengah berada dalam kegilaan penuh. Nikmati tidur siangmu.” Keparat itu menepuk pundakku. Seketika nyeri muncul di antara tulang yang bergesekan. Aku mengangkat bahu dan melihat ke arah mereka pergi. Aku tidak menemukan Mayan siang ini. Kemana ia pergi sebaiknya tidak ada yang memberitahu sebab kadang ia muncul jika dalam keadaan darurat aku membutuhkan pertolongannya. ***

Pekanbaru. 31 agustus 2014

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”