Skip to main content

Sajak Cikie Wahab (Riau Pos, 23 Nov 2014)


Steppenwolf
: Herman Hesse

Sebotol murgindi
Segelas cherry brandy
Nyaris kosong dalam sebuah ruangan sepi
Ia berdiri dengan kaki pincang
Dan gaduh malam yang membuatnya
Enggan pulang
Mencium bau araucaria
Di sekitar pangkal lengan
Ia menyebut dirinya liar
Separuh isinya kenangan
Seluruh dirinya ilalang gersang
Dalam hamparan ratus petualangan
Seperti mitologi yang digambarkan masa silam
Ketika ada yang menariknya kembali
Dari sebuah rumah tanpa pagar besi
Dan sebuah perasaan yang tidak ia kenali
Ia terus mencoba melepaskan diri
Berlari kian kemari
Merutuki kasih
Dan lelaki itu hidup dari sepi ke sepi
Tak peduli pada harapan
Tak lelah pada tantangan orang
Sesungguhnya ia telah kehilangan
Atas apa yang telah ditunjuki kehidupan
Gempita yang ditelan kesesatan



Musim Berkepanjangan

Semusim lagi, aku mencoba bertandang
ke arah sinar yang benderang
Di mana kaki-kaki tenggelam dalam keriangan
Mengisap bayang yang kelam
dan perlahan menembus ruang
Aku menciumi dedaunan yang dibungkus
hujan dalam pot tanaman
ia lebih bersih dan kokoh menjulang
menebar usia ranum yang telah berpendar
maka aku memeluk seseorang yang bercahaya
dan darinya kuperoleh tanda
ialah jiwa yang membebaskan segala rasa
maka aku pulang membawa cerita
tentang musim yang tak sudah sudah.



Penyamun di Malam Purnama

Bukanlah sebuah puisi jika aku kerap
menceritakannya padamu kekasih
tapi seorang penyamun akan mencurinya
bila kelak ada yang datang dari balik kain sarung

malam itu purnama putih
dan ibu mulai bernyanyi
menimpali suara jangkrik di tepi kali
semacam rindu paling kubenci
pada lelaki yang datang dengan gemerincing
maka bangkitlah segala yang asing
tanda-tanda ibu mulai mengayuh pelukan
aku tak berupaya merekam segala kejadian
sebuah pertikaian
sebuah angan-angan
aroma dada dan punggung yang dibentangkan
tapi aku bisa apa
sebagai orang bungkam
patut diam layaknya batang

maka puisi ini simpanlah dalam hati
bila kelak kau menanyakannya lagi
temui aku saat purnama datang kembali



Pelabuhan  Merah

Sebuah bedil dalam kotak kecil terombang ambing
seperti penanda yang mengembara
atas perintah sang nahkoda
teriakan menjaga marwah
dari luka-luka tanpa nama
kelak jalan itu kita tempuh dari
kerangka pilu yang ditaruh jauh
Maka terbayanglah sepasang janji yang bercinta
Berantakan dan menangisi tanah pelabuhan
Membenam tubuh-tubuh tanpa dosa
Gemuruh yang ditikam ke dalam dada
Di tepi batas raga dan nyawa
Kita menyerap debu, abu yang dicipta
Pada pelabuhan  yang merah
Yang menebar bau surga

Pada Sebuah Kapal

Di kejauhan angin datang mendekap dingin
Memanggil-manggil, menepi ke dalam cahaya yang
menguning
Saat matahari menyala di biru laut
Gelombang melesat ke lambung perut
Condong haluan ke tepian
Ke pulau yang dipenuhi pelantar
Jangkar diturunkan
Lelah dipulihkan
Tapi hempasan tak pernah padam
Seperti karang yang menjala angan
Menembus buih-buih laut
Yang dicekam kecemasan
Mengental
Mengecup segala hal
Kisah-kisah pada sebuah kapal



Jalan Baru

Sampai ke pantai
Di hamparan yang landai
Ada kebisingan yang tak pernah selesai
Saat orang-orang saling mengukur
Tegak kesunyian yang tak pernah terurai
Meninggalkan sisa
Pada pelabuhan yang jauh
Menjelma karang batu
Tapi tak menyelesaikan sebuah pintu
Sebagai jalan nasib baru
Berharap membenam kesialan
Menempuh layar yang dikembang
Menimbangnya sebagai sebuah masa depan
Yang tak juga jadi kenyataan
Karena  haluan serupa tekateki yang dalam
Tak akan melepaskan tapi saling menikam
Dalam kerinduan arus laut
Yang tak patut disebut



Janji  Sebuah Bandar

Seorang anak bersampan mendayung ke seberang
pada bandar yang tenang
Akan ia apakan sebuah ajakan tentang negeri angan-angan
yang dijanjikan padanya, dan tentu orang tuanya
tak punya bekal penghidupan dalam pelayaran
Lupa ia akan dingin hujan malam
Lapar perjalanan tanpa kawan
dan ketakutan memisahkan mimpi dari kenyataan
Garang menghanyutkan
Pada kampung yang dipinang janji
Sorak sorai yang tak terdengar lagi
Lalu pergi
Mati

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”