Skip to main content

Profesor yang Menuliskan Kematiannya

Terbit di Jawa Pos 10 Januari 2015

     Dari sebuah lorong rumah sakit, seorang lelaki berjalan dengan tergesa-gesa. Meskipun yang sebenarnya adalah langkah yang lamban dan terengah-engah. Ia harus segera pergi dari tempat itu setelah beberapa menit sebelumnya ia bertemu Dokter Kum. Lelaki itu sampai juga di parkiran dan membuka kunci mobil. Ia duduk dan menghela napas panjang. Seharusnya ia tidak menyalahkan Dokter Kum atas apa yang dikatakannya beberapa menit setelah ia bertanya banyak hal. Tapi kecemasan lelaki itu menyergap kakinya untuk segera pergi dan kini ia menyesal telah mengetahui tentang apa yang menimpanya belakangan.
     Lelaki itu berwajah tua dengan rambut yang hitam pekat. Ia rajin menyemir rambut ubannya ketika matahari belum muncul dan ketika suara pengantar koran melengking di luar pagar. Lelaki itu tentu saja memiliki keluarga. Istrinya memiliki usaha di bidang perhiasan dan masih aktif dengan berbagai komunitas dan kegiatan. Anak tertuanya berada di luar negeri dan bekerja di perusahaan asing. Anak bungsunya juga sudah menikah dan menjadi ibu sekaligus pemilik sebuah majalah remaja. Lelaki itu tentu saja sudah tua. Ia menamatkan sekolahnya bertahun-tahun lamanya hingga kini ia dipercaya mengajar kesusastraan selama belasan tahun di sebuah universitas terkemuka. Lelaki itu bernama Profesor Har.
     Mengenai apa yang dikatakan Dokter Kum. Profesor Har  terlambat untuk mengetahui sebuah penyakit yang ada dalam tubuhnya. Mulanya Profesor Har terjatuh saat berada di depan kelas dan mengajar mata kuliah perbandingan bahasa. Profesor Har dilarikan ke rumah sakit oleh para mahasiswa. Maka setelah di diagnose seminggu. Dokter Kum menyatakan Profesor Har terkena Ataxia yang menyerang otak kecilnya. Sontak saja ini membuat Profesor Har cemas luar biasa.      Bagaimana ia bisa menjelaskan pada istri dan kedua anaknya perihal hasil yang dikatakan dokter. Meskipun sang istri juga akan tahu dari hasil fax yang dikirimkan langsung oleh dokter Kum. Profesor tidak bisa membayangkan wajah sedih dari sang istri.
     Segera dihidupkannya mesin mobil dan pulang ke rumah saat istrinya sedang keluar. Ia hanya berharap dapat menuntaskan kegelisahan hati dan bersikap seperti hari-hari sebelumnya. Tanpa kesakitan dan tanpa kesedihan. Bukankah semuanya selama ini tampak membahagiakan. Sebagai seorang profesor, hal baik sudah ia rengkuh selama puluhan tahun. Ia hanya butuh sedikit istirahat, begitu pikirnya.
     Ketika memarkir mobil, ia ingat apa yang dikatakan Dokter Kum. Penyakit Ataxia menyerang otak kecil dan tulang belakang sehingga bisa mengakibatkan gangguan motorik. Ia bisa saja tiba-tiba kram dan tidak berdaya melakukan apa-apa. Tetapi ia tetap memiliki kemampuan berpikir seperti biasa. Profesor Har sedih  dan menyepi dalam ruang perpustakaan miliknya.
     Dikuncinya pintu dan bersandar di atas sofa abu-abu kesukaannya. Ia menerawang ke luar jendela dan mulai membayangkan kehidupan yang perlahan-lahan menyakiti dirinya. Ia tidak ingin mati sia-sia, meskipun ia sadar bahwa pada umur yang sedemikian maut bisa saja datang. Namun hal yang menyakitkan adalah tahu bahwa perlahan  akan lemah dan tak berdaya serta memerlukan bantuan orang lain.             Profesor Har tidak bisa membayangkan ia harus duduk di kursi roda atau terbaring di atas ranjang dan tidak bisa mengajar kembali. Ia kemudian terbatuk-batuk.
Diambilnya buku catatan dari atas meja dan membuka halaman demi halaman di dalamnya. Ia merasa ingin menuliskan sesuatu, maka ia mengambil pena dan menulis kata-kata itu.
     “Seseorang akan mati dengan atau tanpa ia persiapkan apa apa. Ia akan mati setelah melalui banyak hal. Saya, Profesor Hardito. Tidak menyangka akan menanti kematian dengan penyakit ini, penyakit langka yang disebut Dokter Kum berulang kali hingga saya tidak bisa mengatakan keinginan lagi selain bebas dari perasaan takut ini.”                  Profesor Har terdiam. Ia mendengar bunyi mesin mobil yang memasuki pagar. Itu pasti istri tercintanya. Ia menaruh kembali buku catatan ke atas meja dan bergegas melihat istrinya.
Istrinya masuk dan melihat ia pulang lebih cepat. Maka professor Har langsung menjelaskan bahwa ia kelelahan dan butuh istirahat. Sang istri dengan mimik muka sedih memegang pundak Profesor Har dan menuntunnya ke kamar. Sang istri menatap matanya dalam-dalam.
     “Aku tahu kita telah menjalani kehidupan ini berpuluh tahun. Bagaimana aku bisa melupakan sedikit saja perubahan apa yang tengah kau hadapi. Apa kau tidak menyemir rambutmu lagi hanya karena masalah ini? Aku bergegas agar kau tidak sendirian. Jika kau menghadapi ketakutan akan hal tersebut, aku akan lebih mencemaskanmu. Sekarang, lihatlah apa yang aku bawa. Kau tidak tahu kalau aku sudah memikirkan semuanya.”
     Profesor Har menunduk. Melihat kuku-kukunya yang tampak memanjang. Ia ingat kalau seharusnya ia juga mencukur jambang dan menaruh pisau cukur dengan teliti. Tetapi suara sang istri membuat Profesor Har menoleh.
     “Dokter Kum memberitahuku. Itu sangat membantu kita untuk saling menguatkan bukan? Kau tidak sendirian. Aku pikir anak-anak kita juga akan pulang dan berbuat hal-hal yang semestinya mereka lakukan.”
     “Jangan!” Profesor Har memotong ucapan. Ia kemudian mendesah dan berjalan ke tepi jendela.
     “Mereka bersusah payah mendapatkan impian mereka. Aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa termasuk dirimu. Aku ingin tidur agar aku bisa mengajar besok pagi.”
     Sang istri diam saja dan menaruh bungkusan ke atas meja. Profesor Har kemudian berbaring di atas tempat tidur dan memejamkan mata. Apa yang tampak dari sang istri berusaha ia abaikan. Profesor Har ingat catatan di dalam perpustakaannya. Tetapi sang istri mencoba mengajaknya bicara.
     “Masih sore dan kita belum menonton televisi berdua. Kau tahu kalau kita suka bicara tentang kematian dalam sebuah film. Orang-orang menganggap kehidupan akan selalu ia rengkuh dan berusaha melupakan kehidupan setelahnya. Hanya sedikit saja pengorbanan jika kita berupaya untuk menghadapinya. Aku suka membayangkan kita juga akan bertemu setelah kematian memisahkan. Kita akan baik-baik saja kini dan nanti. Tidak ada yang perlu kau takutkan, Har. Kita sudah punya anak dan cucu.”
     Profesor Har duduk dan bersandar. Ia ingin membicarakan satu hal pada istrinya.
“Aku tidak sepenuhnya merasa ketakutan setelah kau mengatakan hal demikian. Tetapi aku tetap saja memiliki kecemasan itu dan berusaha duduk di antara dirimu dan anak-anak. Mahasiswa dan para sahabat lainnya. Aku ingin menyampaikan lebih banyak hal  yang ingin kukatakan. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana jika ataxia ini membuatku seperti orang bodoh dan menghakimi dirimu untuk terus-terusan membantuku. Meski kita bisa saja menyewa perawat. Apakah kau akan membiarkan aku berada dalam situasi buruk ini. Tentu saja tidak, bukan?”
     Sang istri tersenyum. “Begini saja. Dokter Kum tentu  seorang dokter hebat yang puluhan tahun juga mengurus orang-orang sepertimu. Kita bisa memintanya membuat hal-hal menakjubkan untuk kau lakukan. Bukankah ini seperti hal yang mendebarkan jika bisa membuatmu merasa lebih baik.”
     Profesor Har menyentuh muka dengan telapak tangannya. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihan dan memandang sang istri yang terus menyemangatinya. Ia lupa bahwa dalam empat puluh tahun pernikahan mereka, sedikit saja sang istri tidak pernah meninggalkannya. Ia kemudian menangis. Menangis sekeras-kerasnya.
     “Kalau begitu temani aku makan.” Ujar professor Har sambil menyibak selimut di kakinya. Ia berdiri di samping sang istri. Keduanya tersenyum dan melangkah keluar dengan perasaan yang mengambang.
***





     Sejumlah orang tentu saja sudah berada di depan rumah professor Har sejak dini hari. Ketika pagi pintu terbuka. Ada lolongan anjing di halaman belakang dan hawa dingin yang terasa menusuk kulit. Setelah anak perempuan Profesor Har dihubungi dan tiba di sana, serta  menemukan keadaan itu, ia meminta orang-orang agar meninggalkan tempat itu dan berusaha mengabaikan kejadian yang menganggu perhatian mereka. Anak perempuan itu menarik catatan dari bawah lipatan baju sang ayah.
     Bangunkan aku jika kematian juga belum menghampiriku
     Anak perempuannya menggoyangkan tubuh sang ayah setelah anjing-anjing dalam kandang berhenti menggonggong.         Profesor Har bangun dan terkejut. Ia bertanya kemana sang istri yang setia menemaninya.
     Anak perempuan itu mendesah. Kematian sang istri  sejak tiga tahun lalu membuat sang ayah dilanda depresi sangat berat. Ia mengajar sesuka hati dan seringkali duduk diam menunggu  istri hanya untuk menceritakan perihal diagnose Dokter Kum yang telah lampau. Bahwa perihal kematian, Profesor Har lupa ada kuasa tuhan di sebaliknya. Profesor tidak beranjak dari tempatnya, ia hanya ingin menulis, menuliskan kematian yang ia inginkan.***


Pekanbaru. September 2014

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”