Skip to main content

Kamisan #2 Seasson 3 : Yang Menunggu Gelombang


Ada yang lupa untuk pulang. Ada yang tidak juga memberi kabar kedatangan. Pada gelombang yang berkejaran, rindu pun digelar.

Seseorang menatap jauh ke lautan lepas, ke arah ombak yang berkejaran, juga bayang-bayang matahari yang dihalangi gumpalan awan.  Sore itu ia masih duduk di tepi pantai. Melepas lelah, menikmati penantiannya yang tak kunjung tiba. Jika sudah begitu, ia tidak mendengar hal-hal lainnya. Ia tidak akan pulang dan terus memanggil-manggil nama seseorang dari lubuk hatinya yang paling dalam.
***

“Kau mau kemana?” Tanya Antari, suatu malam. Hujan begitu deras di luar dan ia melihat Han tengah menatap ke jendela dan termenung panjang. Di dekatinya lelaki itu dan dipeluknya dari belakang. Tubuhnya menjadi hangat seketika.

“Kau tidak kedinginan, sayang?” Tanya Antari lagi. Han menggeleng dan meletakkan jaring-jaring yang ia susun pada sebuah tiang  ke tepi jendela. Antari melihatnya dan kembali bertanya untuk apa benda tersebut.

“Aku ingin mencari kerang. Tapi hujan sudah keburu datang.” Jawab Han.

“Ya. Hujan begitu deras.”

“Aku akan menunggu hujan reda.”

“Sudah malam. Kau bisa mencarinya besok pagi.” Antari terus memeluk Han. “Jangan pergi. Tetaplah di sampingku, Han.”

Lelaki itu mengangguk. Mencium bibir Antari. Mereka terus berpelukan dalam dingin, dalam pekat malam yang semakin mencekam.

Saat cahaya matahari muncul di celah-celah jendela. Antari bangun. Ia kesiangan dan tidak menemukan Han di sampingnya. Dengan setengah cemas ia bergegas menyusuri rumah dan tidak menemukan lelaki itu. Ia pun menuju pantai bertanya pada orang-orang yang ada di sana. Tapi tak satupun yang melihat Han. Tak ada yang bisa mengabarkan berita keberadaan Han.

Dan Antari hanya melihat jaring-jaring yang dipegang Han semalam terpancang di tepi pantai. Han tidak ada. Apa Han benar-benar mencari kerang ketika hujan semalam. Antari berteriak kesetanan. Ia tidak lagi memperdulikan perkataan orang.

Ia menangis dan terus mencari Han. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Han tidak juga ditemukan oleh orang-orang. Semua penduduk mulai pasrah, mengatakan Han mungkin sudah tiada. Tapi Antari tidak bisa menerimanya.

 Antari terus saja duduk di tiang pancang. Menanti kedatangan Han. Ia  pikir Han benar-benar melaut dan kesulitan untuk pulang. Antari sudah dianggap gila penduduk pantai. Dan keluarganya hanya bisa pasrah. Antari hanya akan kembali ke rumah saat semesta gelap gulita. Tetapi bila pagi hingga sore tiba. Ia akan ke tepi pantai dan menunggu Han di sana dengan segenap rindu di dadanya.

Ah, perempuan itu. Masihkah ia menunggu. Saat waktu terus memburu hidupnya yang lamur bersama rindu?

Entahlah. Barangkali itu hanya rekaanku saja, sebab tak ada yang tahu. Barangkali juga perempuan itu tengah menyeka matanya yang basah sebab tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, atau bisa jadi perempuan itu ingin berjemur dan menghitamkan kulitnya. Atau kalian mengira perempuan itu Cuma reka-rekaan kita? Bisa jadi. Ya bisa jadi. Itu semua terserah pikiran kita.


Comments

  1. mungkin kalau saya boleh koreksi. Bukannya yang benar itu "memedulikan", mbak? '.'a

    ReplyDelete
  2. Sepertinya saya harus sering main-main ke sini untuk mndapatkan hidangan segar dari mba cikie.. heee

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”