Skip to main content

Kamisan #8 S3 : Jangan Lakukan itu, Yara!






Membicarakan tampilan dinding dalam foto-foto yang dibawa Maria, mengingatkan gadis penginapan pada Han. Selalu saja seperti itu. Maria sangat ramah, meskipun ia tiba di penginapan dalam rangka liburan dan persinggahan sementara. 

 Yara ingin sekali menyuruh Nana membujuk Ibu agar membuat dinding di ruang utama seperti itu.

“Ini sangat keren, Nana. Ayolah kita pasti bisa membuat beberapa bagian dinding seperti ini. Ah televisi lama seperti ini darimana kita mendapatkannya ya.” Yara menunjuki Nana foto itu dan ia tersenyum-senyum. Maria muncul di pintu saat Yara berkata demikian.

“Itu  tidak mudah, Yara. Dan aku pikir Ibumu tidak akan menyetujuinya. Itu hanya ada dalam pertunjukan kami di gedung kota.” Maria, yang terkenal sebagai artis ibukota, duduk di salah satu kursi, tersenyum-senyum menatap raut wajah Yara. Sementara Nana kembali ke dapur dan mengambil apa yang diminta oleh Maria.

“Apa salahnya aku juga membuatnya, Maria?” Tanya Yara.

“Tidak ada yang salah. Hanya saja kau butuh banyak televisi. Kau juga harus merobohkan dinding dan menempelinya. Apa Ibu akan mengizinkanmu melakukan hal itu? Aku tidak ingin kau membuatku bersalah karena mengotori pikiranmu tentang foto-foto itu.”

Yara merungut. “Tapi aku kenal dengan seorang arsitek, namanya Han. Apakah ini membutuhkan banyak biaya?”

Maria mendengus. Ia mengangkat bahu dan pergi kembali ke kamarnya sambil menenteng segelas jus lemon yang dibawakan Nana. Melihat itu, Yara semakin kesal dan menyalahkan Nana.

“Harusnya kau tidak usah memberi ia minum.” 

“Itu salah satu tugasku, Nona Yara. Dan aku senang melakukannya untuk dapatkan foto cantiknya lagi.”

Yara mencibir dan membiarkan Nana pergi dari hadapannya. Sepanjang malam itu, Gadis penginapan terus saja memandangi foto-foto yang ada di genggamannya. Dan tiba-tiba saja ia punya ide, ia melompat dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar Nana.

***

“Kau ini kenapa? Semenjak beberapa bulan ini kau sangat aneh. Apa yang kau lakukan pada dindingku, Yara? Kau ingin membuat pelanggan kita takut?!” Ibu berteriak marah keesokan paginya dan beberapa tamu yang kebetulan lewat di ruangan itu menoleh. Gadis penginapan itu menunduk. Ibu menyuruh petugas kebersihan menghapus cat yang di oleskan Yara ke dinding dengan bentuk yang sangat berantakan. 

Maria geleng-geleng kepala lalu tidak ingin ikut campur. Ia ingin sekali memeluk Yara, tetapi gadis itu mungkin tidak membutuhkannya. Toh beberapa jam lagi ia akan berangkat ke kota lain. 

Sementara itu, Yara mulai sesenggukan dan berharap Nana akan membantunya kali ini. Tapi Ibu tampaknya tidak bisa diam dan terus mengoceh kesal. Yara akhirnya masuk ke kamar dan menangis. Ia ingin sekali pergi dari penginapan dan menjauh dari ibu. Ia putuskan untuk membuang keinginannya memiliki dinding seperti itu. Ternyata apa yang ia inginkan tidak selalu yang Ibu harapkan. Yara melupakan foto-foto itu dan Yara pikir ia akan benar-benar pergi sementara waktu.



Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”