Skip to main content

Cerpen "Dalam Pekat Asap" Batam Pos, 15 November 2015





Wanita itu melihat dirinya yang telah berjalan beberapa kilometer dari tempat yang penuh kabut asap. Kini ia berada dalam ruangan yang menyala. Cermin di depannya  juga bercahaya di terpa lampu, memunculkan pantulan yang ia lihat dengan kesal. Ia kemudian menyeka wajahnya yang lusuh dan kuyu. Kedua matanya memerah dan kantong matanya menghitam, hidungnya berat menghirup udara.
“Sudah kubilang kau tak usah kemari.” Ia mendengar perkataan Lusiana tentang kenekatannya ikut dalam rombongan media dan masuk ke lokasi pembakaran. Asap  tampak seperti kabut yang membungkus penglihatan. Seperti gumpalan yang menyesak di dada dan darahnya.
“Jadi relawan demi Tio? Bodoh sekali.” Lusiana lagi-lagi berkata seperti itu. Menaruh beberapa masker ke dalam kotak dan menyodorkan satu ke hadapan Tiara, nama wanita itu. “Apa cintamu sebegitu gilakah, Tia?”
Tiara menoleh dan diam sejenak. Ia lalu menyunggingkan senyumnya. “Aku suka kota ini.” Peluknya pada Lusiana.
***
Tiara menghela napas dan berupaya membersihkan hidungnya dari debu dan asap yang menempel. Semua terasa menyumbat pernapasannya. Baru saja ia mendapat bantuan oksigen. Ia berangkat dari Jakarta menuju Pekanbaru naik bis yang mengangkut awak media. Ia lalu bertemu Lusiana, sahabat karibnya yang menetap di kota itu dan membawanya ke sebuah tempat.
“Apa kau tidak senang aku kemari? Aku kan ingin menemuimu juga,” Ucap Tiara saat itu setelah merasa debar dadanya menjadi tenang. Tiara kembali memikirkan pesan-pesan singkat Tio beberapa hari sebelum ia putuskan datang ke Pekanbaru. Bahwa kekasih jarak jauhnya itu tengah berjibaku dengan asap yang begitu pekat.
“Tidak sekarang. Kau bisa datang jika tidak ada bencana seperti ini. Kalau kau sakit bagaimana?” Lusiana melotot.
Tiara tak mengubrisnya, ia asik mengamati gambar-gambar yang dikirimkan Tio.
“Lihat ini.” Tiara menyodorkan salah satu gambar pada Lusiana.
“Ya asapnya begitu tebal sampai pucak gedung itupun tidak tampak. Kau tahu kalau sebagian mereka sudah terkena ISPA. Aku tidak tahu bagaimana bentuk pernapasan kami lima tahun yang akan datang.”
“Ayo pindah ke Jakarta. Ikut aku.”
“Kehidupanku di sini. Kau yang harusnya pergi dari tempat ini.”
“Tapi aku ingin singgah ke tempat ini.”
“Tidak usah.” Pesan Lusiana umpama seorang ibu yang melarang anak kecilnya keluyuran. “Asap Tiara. Lihat kondisimu itu. Jika orang tuamu tahu mereka akan membunuhku.”
“Kau pikir ibuku seperti itu.” Tiara terkekeh. Tiara kembali mengamati beberapa gambar dan ia berkata, “Meskipun aku hanya melihat kota ini sebelumnya hanya dari layar handphone yang dikirimi Tio, aku merasa sangat begitu dekat sekali. Seperti aku pernah hidup di kota ini.”
“Cinta buta.” Sindir Lusiana lagi.
***
Aku sakit. Datanglah jika kau ingin melihatku. Tulis Tio dalam sebuah pesan singkat. Pesan itu masuk tepat saat Tiara tengah merampungkan tulisannya untuk surat kabar. Tiara jadi tidak konsentrasi. Berikutnya ia menekan tanda delete dan mengurut keningnya. Di hubunginya Tio saat itu juga dan mendengar suara Tio yang terbatuk-batuk.
“Berobatlah. Kau bukan anak kecil yang harus di tuntun. Aku tidak suka kau kekanakan seperti itu. Apa masker itu tidak berfungsi banyak?”
“Aku sudah berobat. Tubuhku lemah saat ini. Kau tidak usah khawatir dan tidak usah merasa terbebani karena keluh kesahku terhadap apa yang terjadi di kotaku.”
“Lalu apa yang dilakukan pemerintah di sana?”
“Kau tidak usah percaya janji manis mereka, Tia. Aku juga sudah bilang pada ayahku agar tidak menjual apapun lagi pada mereka yang menghanguskan kampung kami. Memberanguskan semua tanaman tanpa memikirkan buruknya akibat yang ditimbulkan. Dan aku ingin sekali bertemu denganmu. Datanglah jika berkenan. Bawa bunga-bunga yang pernah kau katakan itu.”
“Tio. Lalu aku ke sana bagaimana? Penerbangan lumpuh bukan? Kau ingin membunuhku juga?”
“Haha. Kau takut ya? Kau takut asap dan kau tidak peduli padaku? Ya sudahlah, Tia. Kau urus saja dirimu sendiri. Jika ada kesempatan dan hidup yang panjang kita akan bertemu lagi.”
Tiara mendesah saat telepon ditutup dengan tiba-tiba. Rasa sesak di dadanya bertambah. Sebenarnya, seperti yang Tiara ketahui. Beberapa tahun sebelum ia mengenal Tio lewat jejaring sosial. Ia melihat sendiri bagaimana orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan mengambil wilayah dan membakar lahan-lahan itu. Lahan yang mereka beli dengan iming-iming janji dan telah merenggut nyawa orang yang dicintainya, sang ayah. Namun kejadian itu tidak pernah ia ceritakan kepada Tio. Ia pendam segalanya agar Tio tidak tahu bahwa salah satu dalang pembakaran itu adalah ayahnya yang juga menjadi korban.
“Kau ngantuk? Tidur saja dulu.” Lusiana menyalakan kipas angin. Memutar gerakan yang dapat menghalau asap.
“Aku merasa bersalah, Lusi. Dan aku harus bertemu Tio sekarang.”
Pandangan Tiara mondar-mandir antara layar telepon genggamnya dengan gorden jendela. Masih di kamar dengan pencahayaan yang cukup baik itu. Tiara ingat ayahnya pamit dan mengatakan mereka akan untung besar. Lalu ayahnya berangkat ke Sumatera lalu mengirimi ia dan ibunya gambar-gambar petak lahan yang sudah bersih dan yang tengah dibakar. Lalu dua hari setelah itu ayahnya tidak memberi kabar apapun selain kedatangan berita kematiannya.
Bunyi telepon Tiara berdering. Kabar buruk tiba, pikir Lusiana. Dan benar saja, setelah menbaca pesan Tio, Tiara bangkit dan mencuci mukanya sekali lagi.
“Aku harus naik apa ke posko? Tio sudah di sana. Ia sudah membaik, Lusi.” Terdengar grasak grusuk Tiara mengeringkan wajahnya, memakai jaket dan gelung rambutnya.
“Kau bisa tersesat nanti,” sela Lusiana.
“Kau harus ikut.” Pinta Tiara. Minggu depan ada jatah libur yang cukup untuk Tiara menghabiskan waktunya mengamati lokasi pembakaran dan bertemu Tio.
“Kau yakin? Sebaiknya tunggu cuaca membaik. kau ini kan baru sampai. Istirahat sajalah dulu.”
Tiara tak menjawab. Ia menatap seius wajah Lusiana. Dengan berat hati Lusiana mengantar wanita itu ke posko yang ia sebutkan. Di sana sekumpulan orang tengah memeriksakan pernapasan mereka. Semua memakai masker dan sebagian  anak-anak masih tetap saja berlarian tanpa menggunakan alat itu, sehingga teriakan orang tua mereka terdengar begitu nyaring memanggil. Celingukan Tiara disambut lambaian oleh seorang lelaki di sudut kursi. Sebuah meja dan sebungkus plastik hitam menjadi pemandangan yang terasa ganjil oleh Tiara.
Dari tempat ia berdiri, Tiara melihat lelaki itu berumur kurang lebih lima puluh tahun. Dan Tiara tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan ketika lelaki tua itu membuka maskernya dan berkata, “Kau Tiara?”
Jantung Tiara berdegup kencang. Jangan..jangan… pikiran buruknya muncul. Ia jadi menyesal tidak membawa Lusiana masuk ke dalam ruangan. Tiara mematung sebelum akhirnya lelaki itu berkata lagi. “Kemarilah. Aku ayah Tio.”
Mendengar itu, Tiara menjadi lega. Kecemasan mengenai jati diri Tio sirna sudah. Tidak mungkin Tio yang ia kenal adalah lelaki tua itu. Dalam hati Tiara ingin sekali menertawakan dirinya. Ia melangkah mendekati lelaki tua itu dan memberi salam.
“Kau sudah datang tepat waktu. Tio sudah di sini.”
Tiara langsung menoleh mencari sosok lelaki yang mirip seperti foto dalam layar telepon genggamnya. “Mana dia, Pak?” Tiara bertanya.
“Apa kau tidak lihat ia di sini?” Tanya lelaki itu.
Tiara terkejut dan mulai merasa takut. Ia menggeleng dan bertanya lagi di mana Tio. Lelaki itu terkekeh dan menunjuk asap dalam kantong plastik hitam di atas meja. Tiara bangkit dan ingin pergi. Tapi seseorang menahan langkahnya tanpa ia tahu dan ia pingsan di tempat itu.
***
Saat sadar, Tiara sudah di rumah sakit dengan selang oksigen yang menempel di hidungnya. Tidak ada siapa-siapa di sampingnya kecuali suara Lusiana yang terdengar bicara dengan seseorang di dekat pintu. Tiara memanggilnya dengan pelan. Lusiana tergopoh-gopoh dan mendekat.
“Aku kenapa?”
“Kau pingsan. Kau mungkin terlalu lelah. Menghirup asap di lokasi bekas pembakaran itu.”
“Lalu bapak itu? Tio?”
“Bapak itu sudah pulang dan Tio sudah jadi tersangka pembakaran lahan itu. Oh untunglah kau selamat dan belum sempat bertemu Tio.”
“Tersangka?!”
Tiara mendekap erat tangannya di dada. Lagi-lagi ia ditipu cintanya sendiri. Orang yang ia cintai telah membuat kerusakan dan pergi. Tiara tak dapat mempercayai siapa-siapa lagi. Ia melihat asap masuk ke dalam setiap pori-pori dan ia ingin segera pergi dari tempat itu dan tidak ingin datang kembali.***




Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #7 Game of Love ~Pelajaran Bermain~

Seorang perempuan mulai bercerita kepada saya tentang daftar orang-orang yang terjebak dalam permainan cintanya. Yang setidaknya masih melekat dalam ingatannya saat ini. 1.    Ia mengenal lelaki yang bernama Ardi lewat seorang kawan. Pada umur dua puluh tahun dan ia merasa sudah sangat dewasa ketika itu. Hubungannya kandas dalam beberapa minggu. Pekerjaan benar-benar menyita waktunya hingga lelaki itu mencari pelarian 2.    Perempuan itu patah hati lalu bertemu lelaki pemilik warnet. Mereka cukup akrab dan ia berharap pada lelaki itu. Tetapi sebab katanya lelaki itu punya reputasi sebagai keluarga berada, perempuan itu pergi dan tak pernah menginjakkan kaki di warnet lagi. 3.    Beberapa waktu kemudian perkenalan dengan Kevin, lelaki berwajah oriental dan beda keyakinan sempat membuat mereka pergi ke taman pada hari libur. Ciuman tragis dan kebencian pada sosok lelaki membuat perempuan itu akhirnya memutuskan mengganti seluruh nomor telepon. Ia bersyukur tak pernah menunj

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a