Skip to main content

Kurir, Banjarmasin Post 7 Februari 2016


Menjadi kurir  di pos perbatasan adalah pekerjaan yang tidak gampang. Debu, tanah retak  dan pagar kawat sejauh mata memandang, membentang luas membelah utara dan selatan. Tidak ada hunian di sana selain dua pos besar dan tank yang berjejeran lengkap dengan senjata dan terik matahari menyengat seperti biasa.
Seorang lelaki muda berdiri dengan mantel tipis berwarna coklat, debu melekat di antara dagu dan lehernya. Di pundak kanannya tersandang tas lusuh. Lelaki itu memandang dari kejauhan, mengingat hari-hari sebelumnya saat ia memberitahu perihal pekerjaan barunya sebagai kurir ke bagian perbatasan. Ibunya tentu saja marah besar, menangis dengan sekuat airmatanya yang tumpah, agar ia mengurungkan niatnya atas pekerjaan itu.
“Kau bisa mati muda, Hamid. Kau bisa cari pekerjaan lain,” Ibunya seperti gila dan berteriak di depan kedua adiknya yang juga menangis menahan lapar. Lelaki itu diam, hanya merogoh saku jaketnya dan dari celah saku yang dilapis tambal kain itu, ia mengambil beberapa keping uang.  Diberikannya benda itu pada sang ibu.
“Ini bukan gaji pertamaku, tapi ini uang mukanya, percayalah. Belilah roti untuk mereka, Ibu.” Lelaki itu pindah ke ruang depan  dan diam memandangi jalan dari jendela. Sesaat setelah ibunya kembali dari toko di seberang jalan, kedua adiknya diam. Lelaki itu pun menyeka sudut matanya yang berkaca-kaca.
Letusan senapan kembali terdengar beberapa kali. Debu  mulai menyebar. Lelaki itu juga tahu kalau konflik di daerah perbatasan  tidak akan pernah selesai. Dan ia menahan napas sebentar untuk mencerna apa yang akan dilakukannya kali ini adalah benar. Sebagai kurir ia mempunyai tugas mulia mengantarkan obat ke utara. Obat apa? Ia sendiri pun kurang tahu. Sebab ia tidak punya hak lebih untuk mengetahui apa yang ditugaskan padanya.
***
Ia kembali menaikkan sandaran tas di pundaknya. Ia meludah dari tempat ia berdiri dan melihat beberapa orang berseragam datang. Prajurit itu membawa penduduk sipil, perempuan tua dan dua orang anak kecil. Lelaki muda itu tiba-tiba iba.
Lalu terdengar tangis mereka, dalam bahasa yang paling rendah sebagai sebuah permintaan, teriakan memohon di selingi sumpah serapah juga kumandang takbir. Lelaki muda itu melihat dari tempat ia berdiri keadaan langit di kota diselimuti kabut asap. Bunyi letusan besar dan derap langkah yang berasal dari arah  berbeda. Tambah kecut dadanya, tambah pilu kedua matanya memandang kehidupan.  Ia pikir kehidupan hanya soal hidup dan mati. Membunuh atau dibunuh. Ia seperti melihat senyum kedua adiknya tadi pagi, meminta ia agar pulang lebih awal.
Gemuruh itu, ia menengadah ke langit. Pesawat melintas seperti memberi perintah, seakan-akan hendak menghantam tubuh kurusnya yang masih juga berdiri tak jauh dari sebuah tank dan tabung besar. Ia terengah-engah, ingin menangis rasanya dan meminta semua berhenti. Waktu akan melukai mereka. Mereka akan mendapat kesengsaraan yang paling pahit.
“Ayahmu juga mati di medan perang, nak. Masalah tidak akan pernah selesai. Jika orang-orang bersenjata itu tetap ada, mereka akan terus merampas kebebasan kita.” Ibunya menangis. Ia mendengar tangisan ibunya seperti dalam lorong yang panjang. Bukan hanya ibu tapi juga kedua adiknya dan penduduk kota. “Lalu kita tidak berbuat apa-apa? Berdoa saja tidak cukup, Bu!”
Saat tersadar kembali, lelaki muda itu meletakkan tas sandangnya ke tanah. Ia menemukan sepucuk senjata laras panjang tergeletak di samping tabung gas kosong. Ia jadi ingat kembali percakapan malam itu.
“Bu, apakah kita bisa selamat dan pindah ke tempat yang aman?” tanyanya suatu saat, ketika bunyi letusan dekat sekali terdengar di telinga.
 “Pejuang tidak lari dari perang, nak.” Ibunya tersedu-sedu tengah memeluk foto ayahnya dan kenangan itu buyar ketika sebuah teriakan terdengar. Ia memandang dengan gemetar pada peluru yang masih terisi penuh dalam senapan itu. Ia memandanginya dengan penuh harap dan ketakutan juga kebimbangan. Seandainya saja ia bisa berbuat sebagai seorang prajurit perang, bukan hanya sebagai kurir bawahan.
Lelaki itu tersentak. Ia merasakan ada benda yang menempel di punggungnya. Padahal ia belum bergerak ke tengah lapangan, ke arah pos besar para pembawa senjata. Ia berbalik dan mendapati dua orang berpakaian seragam menodongkan senjatanya tepat di depan muka.
“Kau mata-mata?” tanya seorang di antara mereka berdua.
Lelaki muda menggeleng
“Kau mata-mata!!”
“Tidak, pak.”
“Katakan kau mata-mata atau peluru ini menghanguskan kepalamu!”
Lelaki itu menyeka tangisannya. Senapan yang jatuh masih berada di bawah kakinya. Jika ia mati hari itu, tentu ibunya akan kesusahan dan ia tidak ingin hal tersebut terjadi. Ia menengadah. Matahari panas luar biasa. Ia menyapu keringat di lehernya sebentar. Ia diam dan melihat satu dari prajurit itu membongkar tas yang ia taruh di dekat tabung.  Ia pun nekat meraih senapan itu kembali dan menekan pelatuk dengan segera.
Letusan empat kali terdengar. Letusan senapan laras panjang yang dipegang anak lelaki itu. Ia segera meraih tas coklatnya dan berlari sekuat tenaga kembali ke rumah. Tidak ada lagi percakapan antara lelaki muda itu dengan dua orang bersenjata.
***
Dan di sana, tepat pukul dua belas tengah hari. Pekerjaan kurir itu belum juga dimulai dan lelaki muda sudah kembali ke selatan. Di tanah lapang dekat tabung gas kosong, dua mayat pria bersenjata roboh tanpa perlawanan berarti. Serine berbunyi kencang. Penduduk kota harus mempersiapkan jawaban untuk menyambut kedatangan berpuluh-puluh pasukan. Perbatasan itu, selalu menyimpan ketegangan.(*)




Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”