Skip to main content

Makyong __ RiauPos, 18 mei 2014



Oleh Cikie Wahab

Aku mendapatkan telepon dari Mak Diah, sepupu Abak di Bintan, kepulauan Riau. Ini telepon kedua setelah semalam aku dengan sengaja tidak mengangkat telepon karena tidak ingin tahu apa yang akan ia katakan. Akhirnya mau juga aku mengangkat teleponnya dan mendengarkan Mak Diah bersuara. Suaranya yang masih nyaring setelah dua tahun kami tidak bersua. Pasti Abak yang memaksanya, agar aku segera pulang akhir bulan dan merepetkan banyak hal terutama tentang warisan yang Abak janjikan.
Warisan Abak bukan sembarang warisan. Abak berkenan menjadikan aku penerus seni tradisi Makyong. Aku tidak bisa membantah Mak Diah melewati telepon. Aku Cuma ingat yang ia katakan kalau Abak sakit dan memintaku pulang. Mak Diah meyakinkanku kalau tak ada perbincangan tentang warisan yang menjadi alasan aku meninggalkan Abak beberapa tahun ini.
Aku terdiam. Walau bagaimanapun aku punya Abak. Laki-laki yang menikahi Amak dan membuat aku bisa bersekolah ke perguruan tinggi di Pekanbaru. Meski begitu aku bersikeras tidak menggunakan uang sepeserpun dari Abak. Aku berusaha sebagai anak perempuan yang mandiri dan tidak cengeng pada apapun juga. Tiba-tiba aku terus memikirkan Abak, memandangi foto Abak kecil yang tengah mengikuti Datuk memainkan Makyong. Foto Abak sudah buram, foto empat puluh tahun lalu itu menunjukkan Abak tak pernah berhenti mencintai Makyong seperti ia mencintaiku. Begitu jelas Mak Diah sambil berurai airmata.
Aku pun pulang. Menyanggupinya dengan sedikit bimbang. Dengan menyewa perahu aku membawa makanan kesukaan Abak. Semenjak Amak meninggal, Abak pasti kesepian. Kakak lelakiku sudah memaksa Abak untuk tinggal bersamanya. Namun Abak menolak, Abak masih punya rumah panggung yang lebih membuatnya nyaman. Sepanjang perjalanan, aku tak hentinya memikirkan Abak dan warisan yang mesti aku tunaikan.
Aku berhenti di bawah tangga
Aroma Laut seakan meresap dalam pori-poriku.
Suara Mak Diah kudengar di antara rintihan batuk Abak, aku bergegas menaiki tangga rumah dan menemukan Abak terbaring lemah di atas kasur. Ada Rohaya dan juga Makmur, dua keponakanku yang setia menunggui Abak. Aku tidak bisa menahan airmata saat Abak membalas pelukanku dengan lemah.
“Kau pulang juga, Cera?”
“Abak. Aku pasti pulang menemui Abak.”
Abak memintaku untuk tidak menangis. Abak tertawa dan memaksaku menceritakan banyak hal dari kota.

***
Berkali-kali aku memandangi peralatan Makyong di salah satu bilik Abak. Walaupun Mak Diah berjanji untuk tidak membicarakan Makyong lagi, namun Abak menjadi sehat manakala  aku menanyakan perihal Makyong dan bagaimana aku bisa mempelajarinya. Memang Abak sakit dibuat-buat.
“Aku akan mempelajari Makyong biar Abak senang.”
“Abak sudah tua. Abak bangga kau bisa meneruskannya.”
Sebenarnya dalam hati aku masih enggan untuk mempelajari Makyong. Seni dramatari melayu ini begitu digemari saat masa kejayaannya. Makyong dibawakan kelompok penari dan pemusik professional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal.
Abakku belajar tari dari Datuk. Ia berusaha mempertahankan Makyong, meski kenyataannya kini ia tak mendapatkan timbal balik yang pantas. Abak menghabiskan waktu yang sia-sia menurutku.
“Makyong ini sudah diakui dunia, Cera. Kau tak akan malu mempelajari Makyong.” Abak terbatuk-batuk usai membersihkan peralatan musik dari dalam bilik. Aku menghela napas, menghembuskannya kuat-kuat. Di kampus, saban pekan teman-temanku malah asik dengan disco dan dangdutan.
“Mana bisa  aku belajar seorang diri saja, Bak. Apa di kampung ni tak ada yang mau belajar Makyong? Kenapa tak diajarkan di sekolah-sekolah di kota? Atau  pemerintah  adakan sayembara saja?”
“Pemerintah berupaya semampu mereka saja, nak. Tapi kalau kau mau meneruskannya, tentu lebih elok. Buat Abak dan Amak bangga.” Aku mendengar suara Abak yang menjelaskan banyak hal tentang Makyong. Aku duduk di tepi beranda, memandang pantai dari kejauhan. Menghirup angin laut yang berhembus pelan. Aku merasa sangat hidup dalam kenangan Abak. Sebaiknya Abak tak usah membela pemerintah. Kita urus saja periuk nasi yang ada.
Tiba-tiba aku teringat teman-temanku di kampus.  Mereka mempunyai kelompok seni teater di fakultas tempatku menimba ilmu. Ada yang bisa kumintai tolong jika begitu. Apalagi bulan depan akan ada festival seni di kota. Terbersit pula ingin membawa mereka kemari, mempelajari Makyong bersama-sama.
Ketika kukatakan itu pada Abak. Seketika Abak luar biasa sehat. Ia meminta Mak Diah mempersiapkan segalanya. Teman-temanku akan mendapatkan liburan berharga mereka di Bintan. Tempat eksotik yang memiliki kenangan. Rohaya dan Makmur ikutan girang karena orang-orang kota akan datang. Sementara aku merasa takut, kalau-kalau temanku tidak menyukai undanganku dan Makyong. Tapi demi Abak kuambil resiko ini.
Teman-teman kuundang dengan gratis. Mereka hanya perlu menyediakan ongkos untuk menaiki perahu ke Bintan. Lengkaplah petualanganku dengan warisan Abak dan Datuk. Hingga dua hari kemudian temanku sudah tiba di pintu rumah.
Aminah, kupercayai sebagai ketua dalam kelompok dramatari makyong. Ia punya lenggok yang gemulai. Ada Lila dan Maryam, Ada juga Maimun dan Atan yang mempelajari rebab dan gendang. Tidak ada kudengar keluh kesah dari mereka berlima. Mereka dengan lapang hati mempelajari Makyong.
Makyong memang sudah lama tidak dimainkan. Kali pertama kami mencoba tampil di depan Abak, Mak Diah dan kakak laki-lakiku. Aku berperan sebagai inang pengasuh dan Aminah sebagai awang. Abak memberikan tepuk tangannya. Dan jelas membuat aku sedikit berbunga.
Aku merasa perasaanku membuncah ketika melakonkannya. Terbayang olehku masa di mana Datuk dan Abak berupaya memakmurkan Makyong hingga ke pelosok daerah, tampil di pentas ibukota  hingga kini Makyong diperebutkan oleh Negara Tetangga. Aku benar-benar menikmati setiap gerakan. Tubuhku larut bersama ayunan.
“Jika kau terus mengembangkan Makyong, bukan hanya Abak yang senang. Kau telah mewarisi seni tradisi leluhur kita. Makyong adalah seni tradisi melayu. Kau akan…”
“Abak.” Kupotong ucapan Abak
Aku melihat teman-teman teaterku sudah kelelahan. Maimun dan Atan terlelap di samping gendang. Aminah berganti pakaian sementara Lila dan Maryam menyusun kembali peralatan.
“Abak bahagia?” tanyaku, melepas topeng Makyong ke atas dipan.
“Kau tanya pula Abak seperti itu? Abak bahagialah. Kau sudah dewasa. Kau pantas memainkan Makyong.”
“Kalau suatu saat kami tampil. Apa Makyong akan diterima seperti Abak yang bahagia?”
“Berpuluh tahun seni ini lumpuh. Datuk membawa Abak mementaskan Makyong. Bertahun-tahun juga Abak mencintai Makyong. Abak sudah tua. Orang-orang juga sudah tak memperdulikan Makyong lagi.
“Abak…” Kupeluk Abak. Usaha Abak terlalu keras untuk sebuah kecintaan pada seni ini. Abak tidak pernah lelah. Kebahagiaan Abak membuatku yakin, Makyong akan sukses ditangan kami berlima, setidaknya demi membuat senyum Abak sumringah.
***
Saat panggung dibuka, aku melihat tatapan orang-orang yang menanti pertunjukan. Aku gelagapan dan merasa tidak sepenuhnya menguasai panggung. Musik sudah dimainkan tetapi aku masih  berdiri di belakang pintu. Isyarat temanku tak kudengar. Aku semakin keringat dingin. Entah apa yang terjadi ketika aku memasuki panggung atas tarikan tangan Lila, aku tidak melihat tangga di sana. Dan segala hal memalukan pun terjadi. Aku terjatuh. Dan di tanganku ada gemerincing yang jatuh. Nyaring hingga membuat semua penonton terdiam. Aku ketakutan. Takut sebab sudah mempermalukan keadaan. Aku menangis dan membuat segalanya berantakan. Segera aku berlari ke belakang panggung diiringi teriakan orang-orang melempariku dengan sepatu.
“Cera. Cera…bangun.  Abak sudah siuman.”
Aku membuka mata. Melihat Mak Diah yang menangis. Ah, aku lupa. Setiba di Bintan. Aku bahkan belum sempat menanyakan Makyong sebab Abak kesakitan dan akupun tidak menghubungi siapapun untuk mempelajari Makyong. Aku bermimpi. Ya  tadi itu mimpi. Jika kenyataan tentu aku akan sangat malu sekali, dan tentu saja membuat Abak akan bersedih.  Kini Abak sudah sadar dan memanggil namaku. Aku menangis hingga tertidur. Aku malu sekali. Aku merasa pusing dan melihat peralatan MakYong Abak seakan menari dan berbunyi nyaring. Besok aku tidak janji akan tampil seperti dalam mimpi.(*)



Pekanbaru

Comments

  1. ternayata cuma mimpi ya kak hehehehe... selamat ya kak cerpennya terbit lagi. jee akan sering2 berkunjung kemari.

    ReplyDelete
  2. Oke ...Kakak juga berkunjung ke rumah je :*

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a