Skip to main content

Kamisan #1 ~Pernikahan~ NIKAH YUK



“Aku membayangkan gaun panjang dengan lilitan bunga di kepala. Ada senyum merekah dan tatapan mesra. Tidak hanya itu. Setelah perjanjian di hadapan Tuhan, aku dan seseorang itu akan saling belajar bagaimana tetap membuat kami tersenyum meski tak bisa dipungkiri akan banyak rintangan yang dihadapi.”
Seseorang menertawai ucapanku. “Kau terlalu klise,” ujarnya. Temanku itu sok tahu. Apa ia tidak melihat bagaimana Ibu dan Ayahku bertahan selama bertahun-tahun dengan pernikahan mereka. Aku belajar pada mereka.
“Kau harusnya memikirkan pernikahan juga!” ajakku padanya.
“Ah,  kenapa dipikirkan. Jalani saja.”
“Huh. Dengan cara menolak beberapa orang yang mendekatimu?”
“Kalau tidak suka bagaimana? Aku tidak mau tidur dan menyentuh dirinya. Menjijikkan.”
Kami tertawa. 
“Apa Ibumu tak pernah menangis? Maksudku Ibumu kelihatan bahagia dan tentu hatinya. Tapi Ibuku bilang pernikahan itu seperti bermain catur. Harus pakai strategi. Jika tidak kau akan di makan senjatamu sendiri.”
Aku  menggaruk kepala. Setahuku ibu pernah menangis. Terlebih jika Ayah mulai berkata dengan nada tinggi. Meski tidak memukul, Ayah pernah menggores hati ibu. Lalu kenapa ibuku bisa bertahan setelah tiga puluh tahun pernikahan mereka? Ibu bilang. Ibu membiasakan diri pada Ayah. Dalam mata Ibu hanya ada Ayah. Dalam hati Ibu Tuhan menyuruhnya berbuat seperti itu.
“Well. “ temanku berkata lagi. “Jika kau memutuskan bersama orang itu dan mendapati kekurangan dirinya yang lain setelah kau menikah, akankah kau tinggalkan dia?”
“Hm… Kami bisa mencari solusinya berdua. Kau tahu kalau aku suka mendiskusikan apapun.”
“Itu berbeda, Cantik. Jika kau terlalu membahas permasalahan itu, suamimu akan bosan dan menghirup udara luar tanpa dirimu. Itu bahaya.”
“Benar. Ibuku pernah berkata seperti itu. Jika kelak aku menikah, aku harus jadi perempuan yang meneduhkan mata suamiku. Menjadi pelukan paling hangat dan tidak cerewet.”
“Haha? Benar. Perempuan jika terlalu cerewet akan jadi membosankan. Sangat membosankan.”
Aku mengangguk. Setuju perkataan temanku ini.  Dan ia bertanya lagi, “Lalu sekian tahun kau merencanakan ini, kenapa kau belum menikah?”
Aku menghela napas berat. Jodoh tidak bisa ditebak. Menjalin hubungan dan sempat membicarakan pernikahan belum membuatku menikah dengan seorang pria manapun.  Beberapa hubungan yang kandas, perkenalan singkat, perjodohan tak memikat serta melihat beberapa perceraian dari teman sebaya. Kupikir itu tidak mempengaruhi pikiranku untuk menikah. Aku tersenyum .
“Kau jangan melamun. Kalau mau nikah sana di KUA. Orangnya aja belum ada udah ngomongin nikah.” Sentil temanku itu. Aku mencibir dan mencubitnya.
“Nikah yuk. Barengan gitu.”
“Ah. Emoh. Aku mau kado sendiri.”
Aku tertawa. Percakapan ini membuatku lebih bersemangat,  bertekad sambil berharap. “Will u be my hero?” ***



Ajib. Pertama kali ikut Kamisan langsung diserbu tema paling kepikiran (Ya kali). Terima kasih buat teman-teman yang "merangsang" nulis lagi. Semoga ini mencerahkan. Heuheu


Comments

  1. Waktu disindir kak ar, aku harus belajar sama kak cik ini masalah percakapan yang 'agak' terputus. ._.)a

    ReplyDelete
  2. :) waduh. Kita sama sama belajar adji. Plis jangan putus .____.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”