Skip to main content

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~



Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya.
“Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan.
“Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?”
“Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.”
“Tapi daerah ini sepi.”
“Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.”
“Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya.
“Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.”
“Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa, bukan? Kau tidak perlu berkorban perasaan demi dirinya terus-terusan, Malika.”
Perempuan itu diam saja. Memandangi wajah lelaki di hadapannya. Ia berdebar tapi kemudian di alihkannya pandangan ke halaman luar. Lelaki itu barangkali mengatakan hal yang benar. Bukankah lelaki itu menyukai dirinya, bukan Nadia sahabatnya. Namun ia tidak bisa mengabaikan begitu saja perasaan kecewa dari sahabatnya.
“Mungkin kita bisa bersikap biasa saja di depan Nadia. Mas mengerti maksudku?”
“Terserah saja. Aku tetap tidak mengerti. Sekarang ayo kita pergi.”
“Kemana, Mas?”
“Ke pasar.”
“Tumben mas mau ke pasar. Mas tidak ada kencan minggu ya?” perempuan itu meledeknya. Lelaki itu tertawa.
“Kau tahu apa yang sudah kau lakukan padaku?”
“Apa itu mas?”
“Setiap hari. Saat aku bangun pagi, kau sudah muncul dalam pikiranku. Saat tiba di kantor dan melihat kegaduhan kecil yang kau lakukan bersama Nadia dan Koli, aku semakin tidak bisa menepisnya. Apa kau merasa kau sudah membuat hatiku hiruk pikuk selama ini?”
“Mas…”
“Jangan seperti itu. Wajahmu membuat aku tak pernah marah.”
“Baiklah. Aku tidak akan membuat kegaduhan lagi.”
Lelaki itu mendesah. Tangannya merangkul kepala perempuan itu. Setelah mengunci pintu, keduanya pergi dan nyanyian terdengar pelan sekali.***


Comments

  1. tiga kata ya...

    MASIH SELALU KEREN

    Baca tulisan-tulisannya mbak Cikie ini selalu berasa balik ke masa lalu.... X)) mungkin karena saya ngerasa (entah kenapa) bahasanya seperti novel-novel jadul.. klasik, antik, susah dicari, selalu menarik, eksklusif, mahal.... X))

    ReplyDelete
  2. tiga kata ya...

    MASIH SELALU KEREN

    Baca tulisan-tulisannya mbak Cikie ini selalu berasa balik ke masa lalu.... X)) mungkin karena saya ngerasa (entah kenapa) bahasanya seperti novel-novel jadul.. klasik, antik, susah dicari, selalu menarik, eksklusif, mahal.... X))

    ReplyDelete
  3. adeeeh. ompip nih. aku jadi kebelet nih. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a