Skip to main content

Kamisan #10 S3 : Percakapan



Yara mulai bosan dan pergi dari rumah Tere saat sore tiba. Ia menaruh kunci dalam tasnya dan berjalan-jalan di sekitar pertokoan. Mulanya ia ingin duduk saja menghadap ke barat dan menikmati senja. Tapi ia teringat rencana Nana tentang olahraga di bukit dan sepatu warna yang ia inginkan.
Maka Yara berbelok ke toko sepatu dan menemukan sepatu yang akan ia belikan untuk Nana. Saat ia menunduk memilih sepatu ia melihat dua kaki di ruangan sebelah. Ruang itu tertutup di bagian atas namun ia bisa melihat kaki-kaki keduanya. Ia mendekat dan menguping pembicaraan mereka.
“Bisakah kau tidak meninggalkan aku?”
“Aku tidak tahu.”
“Tapi kau harus mengatakan sesuatu.”
“Berhentilah mengikutiku.”
Yara mendelik kaget. Ia buru-buru berpindah tempat saat dua pasang kaki itu bergerak keluar. Dengan sikap kepura-puraan, Yara mengelus-elus sepatu yang akan ia beli. Tapi yang keluar dari tempat itu ternyata adalah Han. Lelaki yang selama ini ada dalam hatinya.
Yara berteriak dan tidak peduli pada sekelilingnya. Ia mendekati Han dan mengulurkan tangan. Perempuan bersamanya adalah Antari, yang tetap berdiri di sana dengan wajah penuh kekesalan.
“Akhirnya. Kita bertemu seperti ini. Apa kabarmu?” Tanya Yara tanpa malu-malu. Han membalas uluran tangan Yara dengan pelukan. “Apa kau mendengar pembicaraan kami?” Tanya Han balik.
Yara menggeleng dan tertawa. Dilihatnya Antari yang semakin marah. “Aku sudah selesai membeli sepatu. Sepertinya kalian harus bicara lagi. Jika sempat datanglah ke penginapan.”

Yara melambaikan tangan pada Han dan menunggu reaksi Antari. Ah, ia seharusnya tidak merasa kecewa lagi atas pertemuan kali ini. Ia memandangi sepatu Antari sebelum pergi dan ia berkata dalam hati, “Lain kali aku akan beli sepatu seperti itu.”

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”