Skip to main content

Cerpen Kita Pernah Jatuh dalam Kesedihan yang Sama. Media Indonesia, 30 Agustus 2015


Setiap kali suasana kesedihan itu muncul, Budiman melihat perempuan bertudung biru berdiri di pintu dan bertanya, apa ada kiriman yang datang untuk seseorang bernama Mira dari seseorang bernama Santo. Budiman mendengarnya dan langsung mengobrak abrik daftar kiriman dan sebentar-sebentar mengecek ke gudang lalu muncul di hadapan perempuan itu dengan gelengan lemah tanpa rasa lelah sedikitpun. Budiman tahu itu akan membuat perempuan yang berdiri di depannya menjadi kecewa dan hal tersebut membuat Budiman semakin bersedih melihatnya.


Kali ketiga kedatangan perempuan itu, membuat Budiman semakin memiliki perasaan erat akan kesedihan yang dibawa oleh perempuan bertudung biru. Budiman tidak tahu harus berkata apa selain memaksa bibirnya untuk terus tersenyum dan menyusuri bayang-bayang rambutnya dari balik tudung biru yang tipis. Tidak dihiraukannya panggilan Emilia, rekan sekerja yang duduk di sebelahnya, mengutuk-ngutuk orang-orang yang meminta pelayanan cepat di kantor pos pengiriman barang.


Budiman baru akan menoleh saat perempuan itu keluar ruangan dan duduk di bangku yang dari tempat Budiman bekerja, ia bisa melihatnya dari balik kaca besar. Pada saat itu, Budiman mencoba menenangkan hatinya sendiri ketimbang menjawab ocehan Emilia yang panjang.
Begitu Budiman menyelesaikan pekerjaan dan bergegas pulang, ia tak lagi melihat perempuan itu di luar. Budiman merasa sangat sedih dan berniat akan mengajak perempuan itu bicara jika ia datang kembali.
Seperti yang telah ia bayangkan, Perempuan bertudung biru muncul setengah jam saat istirahat siang. Budiman sudah merencanakan akan mengajak perempuan itu mengobrol dan makan makanan di tepi jalan Sudirman. Ia abaikan tatapan sinis Emilia yang mencuatkan rasa kecemburuan daripada rasa pertemanan. Budiman tak mau ambil pusing. Ia benar-benar terpesona oleh perempuan bertudung biru.
“Aku tidak akan membohongimu. Sepanjang kemampuanku mengumpulkan data, aku tidak pernah tidak seyakin itu untuk mengatakan tentang kiriman yang tidak ada di kantor kami. Tidak ada penerima bernama Mira, tidak ada pengirim bernama Santo. Dan tentu saja tidak ada alamat yang dituju dari barang-barang yang singgah di kantor kami untukmu. Apa kau tidak bertanya pada pengirimnya? Apakah ia benar-benar mengirimkannya lewat kantor kami?”
“Ya. Barangkali.” Jawab perempuan itu masih berdiri dengan tatapan sendu dan kesedihan yang berat di kepalanya. Budiman menelan ludah, ketabahan perempuan itu untuk datang berkali-kali menambah rasa kepeduliannya. Perempuan itu berdiri dekat sekali dengannya dan Budiman mencium harum parfum bunga yang perempuan itu kenakan.
“Apa kau ingin minum? Aku akan mentraktirmu.” Sejujurnya perkataan itu sering Budiman lontarkan pada perempuan-perempuan yang sempat ia temui, termasuk Emilia. Tetapi pada perempuan bertudung biru, ia menawarkan ketulusan meski ia seperti mendengar kekosongan yang dalam. Seperti mereka pernah bertemu sebelumnya. Seperti mereka pernah hidup bersama-sama.
Dimulai dari hari pertama perempuan itu datang. Budiman memastikan wajah perempuan itu telah menyeretnya dan membuatnya ikut-ikutan memikirkan barang yang tak pernah ada di kantor. Perempuan itu menoleh dan mendapati Budiman melongo menatapnya.
Perempuan itu mengomel dengan manja. Memperbaiki kerudungnya yang terbuka dan mengatakan bahwa Mira akan sedih jika tidak menemukan kiriman itu. Mendengar hal tersebut, tentu saja Budiman heran dan tidak tahu kalau Mira bukanlah nama perempuan bertudung biru itu.
“Aku bukan Mira. Mira ada di rumah. Sepanjang hari ia berdiam di dalam kamar. Mengusir lalat-lalat yang menghinggapi makanan dan ia akan senang dengan kiriman yang dijanjikan Santo mengenai alat-alat terbaik untuk mengusir lalat. Santo bekerja sebagai penjual barang di kota lain. Soal air kotor dan kemalasan Mira untuk bersih-bersih bukanlah alasan yang tepat dikatakan oleh para tetangga yang membencinya.”
“Oh.” Budiman mencoba memahami situasi yang dikatakan perempuan itu.
“Lihat saja caranya bicara, kau akan tahu kalau ia orang yang sangat menjengkelkan. Blusnya terus saja kekecilan dan kadang ia mengoyaknya dengan sekali sentakan. Aku harus kembali ke tukang jahit atau mencoba memperbaikinya dengan tanganku meskipun hasilnya tidak sebagus mesin. Akhirnya ia akan marah dan mengatakan aku bukan orang yang baik. Ia akan melempariku dengan apapun yang ada di dekatnya. Tapi aku sayang padanya. Sangat menyayanginya.”
Budiman semakin mendesah mendengar kalimat itu. Ia ingin sekali menanyakan nama perempuan itu, tapi ia urungkan niatnya dan membawa perempuan itu ke sebuah pusat perbelanjaan. Cinta tunggal perempuan itu kepada Mira mengingatkan Budiman kepada ibunya. Seseorang yang juga membuatnya sangat bersedih
***
Perjalanan dari pusat kota menuju rumah ibu, adalah perjalanan melelahkan yang ditempuh Budiman. Menguras seluruh pikiran dan uang yang ia kumpulkan bertahun-tahun bekerja di kota orang. Tapi ibu meminta Budiman pulang dan melihat ibunya sekarat dalam hutang menumpuk yang dibuat almarhum ayahnya.
Dan perasaan sedih itu menjejali langkahnya. Bahwa seorang perempuan tua, akan mengomel di hadapannya, melemparinya dengan apa saja saat muncul di pintu. Uang yang dikiriminya saban minggu tak bisa berfungsi untuk membuat ketabahan dan kewarasan sang ibu agar tidak menyalahkan Budiman atas apapun yang terjadi.
Untuk menyelamatkan ibunya. Budiman mendengarkan saja tiap perkataan yang ia dengar dan ia akan mengabulkan sebisa kemampuannya. Budiman mulai memperbaiki atap dan membersihkan sudut-sudut rumah yang tampak sangat rapuh. Rayap sudah mengitari seluruh perabotan dan Budiman mengganti benda itu dengan barang yang lebih pantas agar ibunya senang. Budiman memperbaiki saluran air agar ketika ibunya mandi, tidak akan bersusah payah. Dua minggu kemudian ia rampung menyelesaikan itu semua. Budiman merasa sangat bangga pada dirinya. Ia pikir ia telah menjadi anak paling berbakti pada si ibu.
Tetapi hal yang tak Budiman sangka adalah saat sang ibu mengatakan ia harus pergi dari rumah itu. Rumah yang kini menggugurkan kenangan almarhum ayahnya yang menyelamatkan cinta sang ibu. Budiman terhenyak dan dengan sedih ia mengabulkan keinginan itu.
***
Perempuan bertudung biru tersenyum. Budiman ternyata memiliki kesedihan yang sama dalam mengurusi seseorang. Budiman menyeka ujung matanya yang basah. Setidaknya kesedihan yang ia pernah rasakan bisa ia bagi bersama perempuan itu.
“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah kita kembali ke rumah masing-masing?” Perempuan itu membuyarkan lamunan Budiman.
“Aku akan mandi dan menyeduh kopi panas, menyetel siaran komedi dan membaca beberapa hal penting dalam surat elektronikku. Aku juga akan melihat apa kucing kesayanganku baik-baik saja. Lalu setelahnya aku akan tidur cepat sebab besok aku akan membantumu mencari tahu tentang Santo.”
“Oh. Kenapa? Kenapa kau ingin menghubungi Santo?” Tanya perempuan itu dengan tangan yang bersidekap.
“Dengan begitu aku bisa menghilangkan kesedihanmu. Kau tidak tahu kalau hatiku semakin kacau jika kulihat kedatanganmu membawa kesedihan.”
“Kau sudah gila, ya?” Perempuan itu terkejut. Tetapi keterkejutan Budiman tak disadarinya akibat pertanyaan itu. Namun tentu saja wajah kesedihan perempuan itu membuat Budiman urung untuk marah.
“Tapi bukan Santo yang membuatku bersedih.” Akhirnya perempuan itu berkata sangat tenang. Tapi ia tidak melanjutkan ucapannya, ia pergi dan membiarkan Budiman melongo dengan rasa kebingungan. Besok ia akan memberitahu Budiman, begitu perkataan perempuan itu.
Maka dengan perasaan kacau, Budiman tetap berangkat bekerja keesokan harinya dan mengabaikan pertanyaan Emilia mengenai perempuan bertudung biru itu. Ia semakin bersedih hatinya dan memutuskan menulis kesedihannya dan berencana pulang menemui makam ibunya dan meminta maaf. Lalu sepucuk surat datang ke mejanya, di antar oleh seorang satpam dan mengatakan seseorang memberi surat itu pagi-pagi sekali.
Budiman membukanya perlahan. Seperti ada firasat yang membuatnya semakin terhenyak.
Terima kasih. Kamu mendengarkanku dan berniat membantuku. Tapi sungguh kesedihan ini bukan tentang Santo dan kiriman yang terus kutanyakan padamu. Ini hanya tentang perasaanku yang tak terbalas padamu. Saban hari kulihat kau pulang dan melewati gang rumah kami. Aku menyukaimu dan tidak tahu cara apa untuk bicara tanpa mengurangi rasa hormatku. Betapa bodohnya aku. Betapa kesedihan itu membuatku tidak bisa berpikir lebih baik. Satu-satunya jalan akhirnya bisa mengurangi kesedihan itu adalah dengan berbicara padamu. Tapi aku tahu kau juga pasti merasakan kesedihan yang sama saat membayangkan ibumu. Maka ketika aku tahu Mira tak lagi mampu bertahan, aku menyiapkan tujuan. Dan Mira pergi selamanya dengan tenang. Dia ibuku, Budiman. Dialah yang membuatku bertahan selama ini tidak mengatakan apapun kepadamu. Dia sudah meninggal berhari-hari sebelum aku menyapamu. Mungkin kita akan bertemu lain kali dengan segala keberanianku yang utuh. Terima kasih sudah meluangkan waktu.
Budiman melipat surat itu dan ia mendekap tangannya ke atas meja dengan kepala menunduk. Sungguh  ia ingin sekali membiarkan airmatanya jatuh kalau bukan karena teriakan Emilia agar ia segera melayani orang-orang yang datang. Budiman menggeser surat itu dan melihat ke pintu luar, kalau-kalau perempuan itu akan datang kembali dengan keceriaan. Tapi yang pasti, Budiman ingin menanyakan bagaimana perempuan itu mengarang kebohongan tentang kesedihan yang sama-sama mereka rasakan.

Pekanbaru, Maret 2015


Cikie Wahab, bergiat di Komunitas Paragraf. Pekanbaru

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”