Skip to main content

Sajak Cikie Wahab

Di muat di Riau Pos. 9 Agustus 2015

Pelupa Kata


Ada yang kuingat dalam limbung tubuhmu
Jatuh ke ceruk khayalku
Sepenuh rindu yang meruap
Menyesap membayangi diri sendiri
Dalam waktu tertentu
Kita bisa menjadi apapun
Memanjang berpilah-pilah pintu
Mengerut tak ingin diganggu



Tak ada yang bisa menahan kita
Dari rasa dahaga yang murka
Sekali sentak kita lengah
Segalanya jadi musnah
Dan kemunculan wajah-wajah
Tak ada bedanya dari masa ke masa
Mencoba melupakan kata
Yang pernah membusungkan dada
“Jangan kau hina burukku. Di situ celah kepasrahan tiba.”
“Jangan resahmu kau pinta. Ada yang kelak kehilangan jua.”

Pantun tak bernama
Kasih tak bertuan punya
Turun ke dalam diri
Belajar menjadi sepi dari pertemuan ini
Sekali saja beri aku sirih
Agar sumpah kehilangan perih
Agar mulut tak lagi berbuih
Di halaman terakhir
Yang kelak kutulis takdir
Tentang permainan kita
Yang mengagungkan kata
Lekat di segala maknanya

Sungguh, bilapun ada gelak tawa
Kumainkan peranan raja-raja
Yang menguasai gempita di dada
Dalam rumah tak bertuan nama
Di sana kita akan belajar
Tentang syair yang panjang
Niscaya kita bisa pulangkan
Kecemasan yang datang silih berganti
Tak mendapat tempat di dalam hati.

Pekanbaru. Juni 2015

Mencium Belang Sendiri
Sebelum kukemas cerita ini dalam sebait sajak
Yang harus kau ketahui tentang seluk beluk hidupku
Aku ingin mengajakmu bermain dadu
Mendengar gemeretak kayu yang kita tepuk dengan pongah
Dan mata menyala yang membuat lelucon seperti neraka
Bahkan dengan sepenuh tawa yang dimainkan siapa saja
Betapa banyak hal yang kita lalui
Dengan doa dan lirikan mantra pengusir sepi
Tapi tak juga kita yang punya kuasa
Atas kehendak membabi buta
Entah pada episode ke berapa aku akan kembali mencintai
Mencium belang wajah sendiri
Menenggelamkan usia
Melangitkan doa
Dan sajak ini berkali-kali akan muncul lagi

Pekanbaru, Juni 2015

Pasu Gewang

Seorang perempuan mandi di pasu gewang
Rambutnya terurai panjang
Molek ke pinggang
Bertambah jalan menuju kediaman
Mencari perhitungan yang diharap datang
Berkesudahan riak ini, Tuan. Tak sanggup menjejak kelam

Haluan badan tak dapat ditentukan

Ke hati jua hamba turutkan

Hingga genap sendirian

Berhati jalan dengan tengkuluk bunda kandung

Ke mana hendak pulang

Ke ayah berlindung naung


Makan dan minum ia di balai panjang

Sambil bercakap kasih yang hilang

Batang tumbang rimba di hadang

Jangan besarkan rusuh di pikiran

Kelak pulang hanya segantang pesan


Pku. Juni 2015

Jikalau Dik
Jikalau lambatlah, Dik

Kita tebar larangan
Mandi dan berlabuh di dalam jamban
Di anjungan pembawa kabar kedatangan
Penat di badan tak hilang-hilang

Biar hamba menjadi bagian dari jemputan Sultan

Dendang bertabuhan
Periuk naik titian
Burung pergam dan selais medang
Jadi jamuan tuan dan puan


Jikalau tepatlah, Dik

Gemulai pucuk meranti

Tegak tersentak sebagai harga diri

Menyeret sampan hingga ke tepi

Negeri yang dinanti sepasang suami istri

Bukan main rancak salam

Salam pembuka nak dipandang

Sembah kita pada Tuhan

Lidi sekebat jadi pengikat


Jika eloklah, Dik

Punai kan tepat pulang ke sarang

Kasih kan genap berangkulan

Bersiaplah kita menjadi tongkat

Yang menyabung gelanggang nikmat


Pku, Juni 2015

Kenduri

Dari sebuah kenduri besar
Lengkaplah pelayaran di seluruh Bandar
Paras terkinyam bintang
Terang seluruh alam
Embun membekas kabut


Lengang ke gelanggang

Luaslah perumpamaan

Gendang bertabuhan, makanan dihidangkan

Keris pusaka tersandang

Anjungan meninggi di tepian

Sesungguhnya yang demikian, Tuan
Ada doa-doa saling bersilangan
Perkara kebahagiaan yang dapat ditakar
Jarak haluan yang telah terbakar
Pun orang-orang semakin paham
Dalam pelita
Kenduri dipenuhi gelak tawa

Pku, Juni 2015

Cikie Wahab. Bergiat di Komunitas Paragraf. Pekanbaru

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”