Skip to main content

Cerpen 'PRIA' di Padang Ekspres, 13 Desember 2015

Aku kenal dengan seorang pria beberapa bulan lalu. Pria yang mengingatkan aku pada sosok ayahku. Ia terlihat begitu dewasa dan perhatian sekali. Rambutnya klimis dan punya senyum yang manis. Aduh pokoknya seperti itulah. Aku suka mengingat saat-saat ia-entah benar atau tidak- selesai mengantarkan saudaranya di bandara dan ia singgah di tempatku bekerja. Ia pura-pura berdiri di depan toko dan bersiul-siul seperti kode agar aku menyahut siulannya pula. Aku hanya bisa tersenyum dan melihat lirikan matanya yang genit.
Kusodorkan telapak tanganku menyambut uluran tangannya. Kalau saja semua pria bertindak seperti itu, aku yakin banyak perempuan yang akan jatuh cinta. Toh tidak ada yang buruk dari penglihatanku tentangnya. Kulitnya yang berwarna kuning kecoklatan itu tampak seperti lelehan krim yang nikmat. Aku terkesiap saat ia menjepit jemariku dan berkata, “Kau cepat sekali tertidur.”
Aku tertawa sebentar. Membetulkan letak rambutku di belakang telinga. “Ah iya. Kau kan tahu aku suka tidur lebih awal dan tidak sempat membalas pesanmu. Oh iya kenapa kemari? Siapa lagi yang kau antar?” aku bertanya sembari berbasa-basi. Jelas saja ia  bukan dengan sengaja datang menjengukku. Pria itu tersenyum dan membayar satu botol minuman.
“Sudah siang. Kau sudah makan?” Tanya pria itu. “Apa mau kuajak makan siang di luar?”
Tidak. Tidak. Aku tidak mengiyakan ajakannya. Sebagaimana hari biasanya aku membawa bekal makanan sejak pagi. Aku masih bisa menahan lapar hingga pulang bekerja pukul dua siang nanti. Ia tahu aku pasti menolak dan sengaja memanggil gadis pramusaji yang kebetulan lalu lalang untuk mengantarkan aku makanan. Ia sudah melunasinya terlebih dahulu sehingga mau tidak mau aku harus berterima kasih atas kebaikannya.
“Kalau kau tidak ada yang menjemput, kau kan bisa menelepon dan minta bantuanku. Aku siap saja.” Ia berkata dan membuatku tersenyum malu. Meski aku bisa memanfaatkannya dengan bermanja-manja, aku merasa sungkan dan hormat pada pria itu. Pokoknya aku enggan mengubah perkenalan kami menjadi lebih dekat seperti lem yang erat. Aku takut seperti kasus-kasus yang muncul antara dua orang manusia pria dan wanita.
Pria itu, fisiknya seperti jagoan. Aku tidak tahu ia berlatih di mana setiap hari. Dan ia bercita-cita ingin menjadi pelatih tinju. “Kau suka berkelahi?” tanyaku sedikit takut. Ia hanya tertawa dan membelai rambutku. Tapi aku yakin betul kalau ia pasti punya kekasih di luar sana. Terserahlah ia bicara bahwa ia masih lajang. Toh seperti yang kubilang, aku melihat sisi kedewasaan dalam dirinya.
Setelah gadis pramusaji mengantarkan makanan ke tempatku. Aku jadi bingung ingin memakannya atau tidak. Kutatap pria itu, meminta ia juga menghabiskan makanan. Namun sinyal-sinyal yang kuberikan tidak diacuhkannya. Ia minum lagi dan bicara.
“Aku punya adik perempuan dan ia malas sekali makan. Kau seperti dirinya. Dan itu membuatku beranggapan kalau aku dipertemukan dengan perempuan yang mirip adikku. Dan aku harus memperlakukanmu sama dengannya. Mungkin berbeda sedikitlah.” Pria itu terkekeh sementara aku tercengang. Bibirnya bergerak-gerak dan aku malah memperhatikan itu. Sial!
Masalahnya aku bukannya malas makan. Ayolah aku sedang tidak bercanda dengan makanan lezat ini. Aku hanya sedang sariawan dan sedikit gengsi. Tepatnya jika aku meringis kesakitan saat makan. Aku tidak ingin pria itu melihat tampangku yang jelek. Tentu saja ini bukan solusi. Setelah itu aku melingkarkan tangan di pinggangku dan meminta persetujuan pria itu bahwa aku bukan kurus kerempeng. Ia tertawa dan melirik manja. Ah, luluh sudah  jika ia begitu.
Harus kuakui ia memang baik padaku. Sangat baik sebagai seorang teman. Setidaknya hingga saat ini kutulis tentang pria itu, toh aku tetap peduli jika ia peduli dan suka mengirimi aku makanan. Anggaplah ia ayahku. Oh bukan, ia terlalu muda untuk jadi ayah. Anggap saja abang atau kekasihku. Aku belum bisa membedakannya. Hanya saja aku mewanti-wanti diriku agar tidak menyebabkan sentruman di antara kami berdua.
“Kau perempuan yang lucu,” ungkapnya sambil mengatakan aku penurut dan tidak banyak pinta. Aku kira ini hanya gombalannya yang membuatku berpikir untuk melanjutkan pekerjaan atau menemaninya bercanda. Tapi justru ia berhasil memikat hatiku untuk terus-terusan bersikap baik padanya. Ia satu-satunya pria yang terlihat antusias begitu kusodori kupon diskon buku-buku.
Yah begitulah para pria. Satu-satunya kesempatan aku pergi berdua dengannya adalah saat tak ada yang menjemput diriku sepulang kerja dan ia tak sengaja meleponku sepuluh menit sebelum jam pulang. Kata tak sengaja ini bukan aku yang menuliskannya tetapi karena pria itu yang terus mengatakan kebetulan, maka itu terdengar menjengkelkan. Pun ia sudah di parkiran dan menungguku datang dengan lantunan musik lawas dalam mobilnya.
Aku muncul di kaca mobilnya dan ia membukakan pintu. Bau pewangi meruak seperti menusuk hidungku. Ah entahlah. Aku semakin pusing jika mencium wanginya. Aku memintanya menyalakan kipas atau ac- lah begitu. Sehingga  menolak permen tangkai yang sama darinya dan ia memandangiku dengan tatapan aneh.
“Kau baik-baik saja?” Tanya pria itu.
“Tentu. Aku baik sekali,” jawabku. Kubalas pandangannya yang seperti menggoda itu. Aku yakin ia sedang berpikir hendak membawaku ke mana. Meskipun ia bertanya aku mau langsung pulang atau bagaimana. Aku lapar waktu itu dan memintanya singgah di sebuah tempat makan.
Aku memesan makanan dan minuman dingin, sambil mendengarkan ia bercerita mengenai pekerjaannya yang sangat padat. Pembicaraan itu tentu menyebar ke mana saja. Sebentar ia mengoceh pula tentang tontonan yang menyebalkan beberapa hari baik di koran maupun di tivi dan sebentar kemudia ia bercerita tentang adik perempuannya. Tapi mendengar ia bicara tanpa jeda membuat mataku berkeliaran ke segala arah. Dan tepat ke sekelompok perempuan bertampang nafsu yang berbisik-bisik tentang pria itu.
Sadar ada yang demikian, pria itu menggenggam tanganku seolah-olah kami tengah berkencan. Oh Tuhan. Aku gemetar dipegang olehnya. Ia menuntun pikiranku tentang ruang lavender dan minuman busuk berbahan dasar apel yang pernah ia ceritakan sebelumnya. Anggaplah begitu, aku ada di ruangan itu bersama si pria. Tetapi kami tidak melakukan apa-apa selain tertawa, makan dan menonton tivi.
Tapi itu semua tidak mungkin. Tidak akan kusetujui karena aku akan lebih bahagia jika diberi buku. Nah berhubung perempuan-perempuan itu masih melirik nakal ke arah pria di hadapanku. Aku mulai mendesah dan berharap segera pulang ke rumah. Pria itu menuntun lenganku dan kami pulang dengan meninggalkan kekesalan bagi mereka..
***
Beberapa waktu lamanya aku dan pria itu tidak bertemu lagi. Aku juga tidak menghubunginya karena kesibukan. Pun ia tidak meneleponku dan mengabari apa yang terjadi padanya. Untuk beberapa saat aku mudah teringat lalu merasa sedih sendiri. Tak bisa kujelaskan bagaimana aku menganggap ia sebagai pria baik-baik yang mengisi ruang kosong di hatiku.
Aku rindu padanya tiba-tiba. Pokoknya aku ingin bertanya apa yang terjadi, apakah ia sudah menikah atau menjadi pelatih tinju seperti yang ia bilang dahulu. Aku mulai meneleponnya dan nomor itu masih aktif. Anggap saja aku memang sedang menghabiskan pulsa gratis. Itu tentunya tidak membuat aku malu karena menghubunginya terlebih dahulu.
Telepon diangkat dan aku mendengar suaranya yang jauh.
“Maria. Cepatlah. Aku akan mengantar anak-anak ini ke kelas melukis.”
“Halo. Ini siapa?” suara perempuan bertanya padaku.
“Oh saya guru melukis anak anda.” Entah bagaimana aku berpikir untuk berkata seperti itu.
“Oh Ibu guru. Ada apa? Kami baru saja ingin mengantar Salma, Rika dan Fitri ke tempat les,” suara perempuan itu ramah dan renyah sekali.
“Sekolah diliburkan.”
“Oh begitu ya. Tapi kenapa?”
“Aku tidak enak badan. Tolong katakan pada suami anda agar membayar ruangan lavender dan minuman apel yang …”
“Ibu guru?”
“Ya.”
“Suami saya sudah meninggal.”
Aku terhenyak dan diam. Suara pria itu terdengar sangat nyaring di telingaku meski ia seperti kerepotan mengurus anak-anak itu, anak dari adik perempuannya. Entahlah. Mungkin pria itu melupakan cita-citanya menjadi pelatih tinju dan memilih menjadi pengurus anak-anak itu. Oh kau, pasti pria yang sangat baik. Aku sangat merindukanmu.***

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”