Skip to main content

DAPUR



Oleh Cikie Wahab


Ami berjalan merunduk di depan tamu ayahnya, itu kutahu saat kami bertemu sepuluh menit yang lalu. Wajah Ami merah padam dan matanya berair perlahan. “Maafkan aku, aku tak bisa membantumu,” ucapku setelah ia mengatakan semuanya.
“Ya. Harusnya kau tak tahu masalahku!”
Dari celah-celah yang cukup besar untuk kami saling melihat, mataku tak hentinya menatap Ami yang terdiam mengenang apa yang sebelumnya terjadi. Dua bola matanya yang hitam padat seperti luruh dan menyatu dengan airmata. Ia kemudian menyibakkan rambutnya yang bergelombang sembari menyeka matanya yang memerah.
“Kita lupakan saja masalah ini! Hmm..apa yang kau perbuat disana?” Ami dengan tiba-tiba mengembangkan senyum termanisnya padaku, senyum yang membuat bibirnya tampak lebih tipis dan menggoda, Akupun terkesiap. Gelas yang kupegang hampir saja menerpa lantai. “Ng..ini, aku akan membuat kopi. Aku belum sarapan.”
Ami tertawa, dan suara tawanya seperti menggelitik urat leherku.
“Ada yang lucu?” Tanyaku balik.
“Tidak, Siran. Celah ini terlalu kecil untuk sebuah gelas. Jika tidak, tentu akan kubuatkan kau secangkir kopi buatanku.”
Aku rasa dia benar. Kami dipisahkan oleh sebuah palang-palang kayu dan bambu yang berada di antara dapur,  aku dan Ami, hanya mata kami yang bertemu, lewat mata itu pula kami bercerita tentang segalanya.
“Aku akan robohkan kayu ini jika kau mau, Ami.” Entah darimana aku yakin atas perkataanku sendiri, dan itu membuat Ami menahan pandangannya. Ia berbalik arah.
“Tidak perlu, Siran. Jika dapur ini mempertemukan kita nanti, aku ingin kau buatkan kopi untukku. Kopi racikanmu itu.”
“Jika tidak?”
“Biarkan saja pembatas ini yang menyerap segalanya. Aku tak akan jadi durhaka pada mereka. Pada ayahku tentunya.”
“Kau menyia-nyiakan hakmu, Ami.”
“Aku berusaha adil! Aku bersyukur bisa dilahirkan mereka. Aku tidak meminta lebih.”
Aku membalikkan tubuhku, hempasan napasku yang tersekat tidak berguna. Ami malah mengacungkan wortel besar lewat celah itu, ia bilang akan memasak capcay untuk tamu ayahnya. Lalu ia akan memintaku untuk mengulurkan telunjuk agar bisa ia teteskan kuah capcay untuk kucicipi. Aku tersenyum juga,  Ami memang perempuan luar biasa!
Maka pertemuan kami inilah yang paling kusuka dalam hidupku. Ia selalu riang dan melupakan kesedihannya ketika di dapur. Ia akan menari sambil berdendang dan membuat aneka masakan yang sangat lezat untuk kami cicipi bersama. Bahkan aku tak malu menaruh bantal di antara dapur juga dapurnya dan mendengarkan cerita sambil tidur terlentang.
Dapurnya selalu mengepul dan nyanyiannya terdengar lewat celah itu. Akupun mulai mengatur jadwal untuk selalu ke dapur, meski kadang aku lupa sendiri gunanya dapur bagi diriku.

***

“Aku terlambat! Mereka akan datang pagi ini!” suara Ami yang tiba-tiba , membuatku merapatkan mata ke celah itu. Aku terkesiap dan melihat cahaya matahari sudah terang benar.
“Akhirnya kau datang. Kau darimana?”
“Aku..? dari depan. Kau menungguku?”
Tidak kujawab pertanyaannya itu, toh seharusnya ia tahu. “Siapa mereka, Ami? Aku akan mencegat mereka jika menyakitimu. Apa kau mau aku merusak rencana perjodohan ini??”
Ami hanya menjulingkan matanya. Menaruh wajan di atas api dan menuangkan bumbu. Lalu Ami memandangku dari jarak satu meter.   “Ah, satu meter itu sangatlah jauh ternyata. Aku disini kau disana.”  Aku memperhatikannya terus sembari mencerna kata yang ia lontarkan. Ia pun mengaduk-aduk bubur nasi  dan kemudian memintaku mengulurkan dua jariku agar ia bisa memberikan setetes bubur yang sudah dingin.
“Enak. Kau hebat!”
“Ya. Ini untuk calon suamiku.”
Ucapannya barusan membuatku ingin memuntahkan kembali bubur yang hanya setetes itu. Aku berusaha menelan bubur itu. Ia bersikeras tetap menerima pinangan orang lain. Dia menipuku, menipu cintaku yang aku ikrarkan sebulan lalu.
“Oh, Ami. Apa tidak ada pilihan lain? Kupikir cap cay dan bubur nasi itu sepenuhnya kau buat untuk diriku. Sialan!!” Kuucapkan kata itu tanpa melihat Ami. Meski kehidupan kami tak sama-sama baik, dia lebih beruntung daripada aku. Ia masih tiga kali membuat sesuatu yang bisa ia masak untuk keluarganya,  dan aku dengan melihatnya berada di ruang yang tak bertembok itu_sangat bahagia
“Sewajarnya dan sedari kemarin kita tahu, Siran. Pembatas ini memisahkan dapur kita. Juga cinta kita yang hanya sejengkal. Aku tak  yakin dengan hari esok, aku hanya menjalani hari ini saja.”
Benar. Dari dulupun Ami tak ingin mengundangku lewat pintu depan. Semua yang kami ceritakan hanya berkisar lewat belakang, di dapur yang bersekat pilah-pilah bambo dan kayu kasar. Ia sendiri yang meyakinkan hatiku untuk tetap berada di dapur seperti seorang koki, meski kadang tak ada makanan yang bisa kunikmati.
“Aku rasa aku mulai bosan berada di dapur ini,” ucapku suatu hari, ingin melihat reaksi matanya yang hitam padat. Seumpama ia gundah, tentu ia menginginkan pertemuan kami. Tapi aku salah, ia menyalahkanku begitu saja dan bersikeras agar aku tak membuatnya jadi durhaka.
“Kau benar-benar menangis, Ami? Apa itu airmata buaya?”
Ia menggeleng cepat dan menumpahkan pastel jagung ke lantai. Sayang sekali, Ami. Kekecewaannku datang lebih cepat dari rasa cinta ini. Ami pergi dari dapur, entah ke ruang tengah atau kemana, yang ia tinggalkan hanyalah siluet luka yang hinggap lewat kata-katanya.

***

Matahari di dapurku memang lebih terang  dibandingkan dapur Siran, lelaki berwajah aneh itu. Hmm, wajah yang selalu mengintipku. Tapi itu tak apa-apa, toh ia selalu ada dan mendengarkan aku bicara. Tapi belakangan ini dia terlihat lebih aneh dari biasanya, dia mengatakan ingin merobohkan tembok ini untuk menemuiku. Ha..Ha..itu kan namanya aneh! Dan tentu saja keanehannya menular padaku.
Aku selalu rindu pada bau dapur juga pada dengus napasnya yang memantul dan terdengar lewat celah itu. Aku betah di dapur, Capcay dan bubur nasi adalah makanan kesukaan Siran. Lelaki yang membuatku semakin linglung. Ia akan hadir dimana aku bisa bercerita tentang segala, tentang cinta yang aku damba. Siang dan malam ia selalu mendengarkanku dan mengatakan kalau ia hanya butuh kopi untuk dinikmati. Betapa malangnya, betapa bodohnya aku.
 Maka ku alihkan perhatianku pada laki-laki lain agar ia tak lagi membuatku aneh.
Namun aku salah, keanehan itu memang timbul dari diriku sendiri. Lelaki lain itu hanya ilusi dan aku kehilangan semuanya. Laki-laki bernama Siran itu tak pernah mengintipku lagi. Semenjak itupun dapurku menjadi sunyi hingga tinggal aku sendiri sambil menyesali bahwa seseorang itu benar-benar pergi dari dapurnya  yang kutahu tak pernah mengepul selama ini.
“Siran, kau mau bubur buatanku?!!?”***
Pku, 2011

Naskah ini di sadur menjadi sebuah film pendek dan melalui tahapan pergantian tokoh cerita. simak filmnya di #Dapur. youtube kesayangan anda :)

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”