Skip to main content

Desember yang Beku


Saat mendarat di Trudeau International Airport, Ink buru-buru menemui Bonita di ruang kedatangan. Perjalanan selama empat puluh dua jam itu membuatnya begitu lelah. Bonita menyambutnya dengan riang. “Welcome!”
“Oh, Boni,” Pelukan Ink ketika mendapati Bonita ada di depannya.
“Kau kedinginan? Sudah musim dingin di sini, Ink.” Bonita menyodorkan penutup kepala pada Ink, agar bisa menutupi telinga Ink dari udara. Kemudian mereka berdua naik kereta menuju sebuah tempat di sekitar jalan St. Chaterine St.
Ink memperhatikan salju yang turun pelan dari kaca jendela, ia merekamnya dengan kamera ponsel, juga Bonita. Tapi kemudian ia merasa kedinginan lagi dan hanya duduk mendekap tangannya dengan tenang.
“Mon ami, sebentar lagi kita sampai.” Bonita tahu Ink tidak nyaman dengan pakaiannya yang kurang tebal. Setelah mengalami transit tiga kali, Ink pasti kelelahan.
“Aku tidak menyangka sedingin ini.”
Kereta berhenti. Mereka berjalan kaki menuju sebuah kedai makanan. Boni menarik tangan Ink masuk ke kedai. Beberapa orang tampak menunggu pesanan, dan dari balik meja kasirnya Kriz menggoda Bonita yang membawa seorang pria.
Bonita mengelak dan masuk ke pintu belakang, di sana ada sebuah tangga yang memiliki beberapa kamar. Ruangan kamar berukuran 4x3 meter, namun ruang itu di beri penyekat untuk melindungi tempat tidur dan lemari baju. Di sebelahnya ada Tv kecil dan lemari buku. Bonita melempar sweater tambahan pada Ink.
“Kau mau coklat panas?” tawar Boni. Ink mengangguk dan mengamati kamar kecil yang di sewa Boni selama ia menyelesaikan studi di Montreal.
“Maaf, terlalu kecil, ya? Ini yang paling murah, karena akupun bekerja di kedai bawah. Kau lebih kurus dari fotomu di facebook, sudah lama rasanya kita tak bertemu. Seminarmu hanya empat hari, bukan? Sayang sekali kalian mengambil tema musim salju,” Bonita terkekeh.
“Ya. Maafkan aku, seharusnya aku tidak merepotkanmu dengan menumpang di sini. Aku bisa menyewa hotel saja.”
“Gila! Aku sudah berbaik hati padamu. Mon ami, sahabatku… tinggallah di sini untuk menemaniku.” Bonita mengulurkan segelas coklat panas dan kue muffin yang ia ambil dari kedai bawah. Ink menerimanya dan Bonita kembali ke bawah untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Tinggal Ink sendiri di kamar itu. Ia hanya mengintip dari kaca jendela yang tertutup rapat, kacanya tampak buram karena salju, tapi ia masih bisa melihat kerumunan orang di seberang jalan. Musim dingin ini mereka tampak bersemangat, lampu-lampu natal sudah terpasang di beberapa toko penjualan.
Ink  ingin turun ke bawah sore itu. Dan ia ingat pesan Boni untuk memakai sepatu boot dan jaket tebal. Ia keluar melewati pintu samping dan berdiri lebih dekat dari kerumunan itu. Ia berada dekat sekali dengan manusia kulit putih yang dulu sempat membuatnya benci.
“Hei! You, Get this!!”
Ink menatap lurus pandangan seorang wanita yang menyapanya. Kulitnya putih kemerah-merahan, rambutnya pirang dan ia kelihatan seperti orang Asia kebanyakan. Wanita itu menjual kerincing, Ink seperti melihat pedagang kaki lima versi lain di sana. Kerincing yang berbunyi dan tampak imut itu berbentuk santa claus, pohon natal dan kartu ucapan natal. Ink menggeleng dan menyadari kini hanya ada ia dan wanita itu.
“Parlez Franchaise or English, Sir?”
“English only,” Jawab Ink sedikit tidak pede dengan kemampuan bahasa ingrisnya, sungguh ia memiliki kosakata yang sangat sedikit dengan bahasa Prancis. “Asia?” Tanya Ink balik.
“Of Course. Indonesia.”
“Ah, kebetulan sekali. Aku dari Indonesia juga.”
“Pardon, sorry… saya tidak memperhatikan dari tadi.” Kali ini wanita itu memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Papa saya asli Montreal, Ibu saya juga. Hanya saja nenek yang sangat saya cintai itu berasal dari Jakarta.” Wanita itu memasukkan kembali barang dagangannya ke dalam tas.
Ink mengernyit heran, tapi wanita itu segera memberitahu bahwa ia mencoba mengisi waktu luangnya dengan berbisnis jualan seperti di Jakarta. Tapi tetap saja Montreal itu tidak sama dengan Jakarta, mereka tertawa berdua.
“Kau tinggal dimana?” Tanya Ink
“Dimana saja.”
“Kau pikir ini Indonesia? Kalau di sana kita bisa menumpang dengan aman atau meminta pertolongan. Di sini?”
“Nama saya Resa. Panggil saja Res. Ini kartu nama saya. Saya harus pergi.”
Ink mengangguk dan mengamati Resa yang berjalan menjauhinya. Bumi ini tak lagi seluas yang ia kira, ia bisa bertemu dengan orang yang tidak ia sangka-sangka. Ink mengulang kembali nama wanita itu di bibirnya.
***
Bonita memperhatikan kartu nama yang ada di tangan Ink. Tak biasanya Boni dengan kesal menarik selimut yang ada di atas Ink. Melihat itu, Ink bangkit dan bertanya, namun Boni menatapnya dengan kecewa.
“Kau janji tidak akan dekat dengan siapapun selama seminar. Berhati-hatilah pada siapapun. Aku bertanggung jawab pada ibumu.”
Ink paham, Bonita pasti melihat ia dan wanita itu tadi sore. Bonita terlalu khawatir padanya. “Aku janji, Boni. Selesai Seminar aku akan menemanimu di kedai dan menghabiskan waktu menjelang tahun baru bersama. Lagipula aku ini laki-laki, kau jangan terlalu khawatir begitu padaku.” Ink diam sesudah mengatakannya. Boni pun diam. Selama satu jam mereka diam. Tapi Boni kembali duduk di samping Ink dan menghabiskan sup yang di buatnya tadi.
“Maaf, Ink. Mungkin Januari aku akan pulang.” Ucap Boni ketika Ink memandangnya.
“Itu bagus, ujianmu sudah selesai, kan?”
“Aku..aku dijodohkan, Ink!”
Ink berhenti makan, mengaruk-garuk kepalanya yang terasa gatal. Boni mengulang perkataannya lagi. Ia tidak bisa menolak keinginan orang tuanya. Baginya orang tuanya lebih dari apapun. Ink menelan ludah dan mengusap kepala Boni.
“Kau menerimanya begitu saja?” Ink melihat Boni menyunggingkan senyum, senyum itu seperti mengatakan. “Kenapa bukan Ink yang melamarnya.” Salju turun lagi dan Ink membiarkan Bonita larut dalam pikirannya sendiri.
Dua hari berikutnya, Ink bertemu dengan wanita penjual kerincing. Ink meneleponnya dan bertemu untuk sekedar berbincang-bincang. Esoknya pun begitu, Ink terhipnotis oleh keramahan Resa.
“Datanglah ke pesta natal di rumahku, ada banyak temanku yang datang.”
“Begitu, ya. Maaf aku tidak bisa.”
“Oh, I know. You’re muslim.” Resa mengambil kesimpulan sendiri yang diikuti anggukan Ink. Tapi Resa tampak tak perduli.  Di musim dingin seperti ini, ia tetap berpenampilan meriah dengan rambut yang di cat merah kecoklatan, eyeshadow dan lipstick pink di bibirnya yang merekah. Ink sedikit tidak nyaman dengan penampilan Resa, kini ia tampak seratus persen orang Kanada di banding orang Indonesia. Tapi Ink sudah terlanjur  dalam pelukan Resa, mereka bercerita dan  makan bersama menjelang senja, hingga Ink lupa ada janji dengan Bonita.
Saat malam tiba, Ink masuk segera ke dalam kamar. Beruntung Boni sedang bekerja di kedai bawah. Ink lega dan bersiap-siap tidur lebih awal.
***
Boni tidak lagi menyiapkan sup atau coklat panas untuk Ink, hingga pagi itu Ink turun ke kedai dan memesan muffin serta kopi. Ia merasa sangat kedinginan dan kehilangan seseorang. Ada apa dengan Bonita? Terkaannya bertambah-tambah. Bonita  diam saja dan lebih dingin dari salju yang membeku. Boni hanya melayani tamu-tamu yang lain kecuali Ink. Beruntung  seminar di Universitas sudah selesai dan Ink butuh waktu untuk menyadari bahwa ia menemui Boni dalam 90% kedatangannya ke Montreal.
Kriz menyuguhkan kopi dan beberapa porsi muffin ke meja Ink. “Excusez moi. Are you okey?”. Ink menggeleng, menunjuk Bonita yang lalu lalang begitu saja. Sebentar mereka bercerita, Kriz kembali ke meja kasir. Ada yang menarik perhatian karena kedatangan seorang wanita di kedai itu. Ink menoleh, hingga kecupan hangat mampir di pipinya.
“Ink! I miss u. Why your phone is not active?”
“Maaf, Resa. Aku sibuk sekali.” Kilah Ink
“Tempat ini tidak tutup? Natal dimana-mana.”
Ink gundah, tiba-tiba ia ingin melihat wajah Bonita, namun sayang ia hanya sempat melihat langkah kaki Boni berlari melewati tangga. Kriz geleng-geleng kepala
“Maaf Resa. Lain kali saja, ya.” Ink menyalami Resa sebentar, diikuti anggukan Kriz yang mengacungkan jempolnya. Ink mengejar Boni ke lantai atas, tak ia pedulikan teriakan Resa yang memanggilnya.
Tak ada yang membukakan pintu ketika Ink mengetuknya. Ink menyesal tergoda kerincing yang ditawarkan Resa. Bonita, mon ami_nya, lebih dari segalanya. Dan ia merasa dingin luar biasa  malam itu. Lonceng natal terdengar dimana-mana. Dan sepuluh menit kemudian Bonita membuka juga pintu kamarnya dan memeluk Ink erat-erat.
“Pulanglah bersamaku, dan kau akan jadi saksi di pernikahanku nanti.” Suara Boni bergetar, lebih kencang dari suara lonceng malam. Ink diam, membalas pelukan Boni lebih erat lagi. Ia menatap jauh pohon natal yang berkelap-kelip dari jendela. Orang-orang memakai baju hangat, namun ia merasa kaku di bulan Desember yang beku itu.***

mon ami         : sahabat (bahasa prancis)
Excusez moi  :  permisi

terbit di RiauPos. 8 January 2012

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”