Skip to main content

Ulasan buku MADRE_Dee


Meramu Cerita dalam Madre
Oleh cikie wahab

Ramuan pertama
Seberapa hebatkah pengetahuan dalam sebuah karya sastra. Ia melebihi gedung yang tinggikah atau jalanan yang tiada pernah berbatas? Jawabannya bisa beragam. Pengetahuan itu laksana dian, sesuatu yang mencerahkan. Ketika ia diramu dengan segala komponen bahasa yang indah, ia akan bergeliat dan membuat kita penasaran hingga tertawan.
Sebagai salah seorang penulis yang mengawali kiprahnya dalam dunia selebritas, Dewi Lestari atau yang akrab dikenal dengan sebutan Dee ini, menggiring kemampuannya untuk mengembangkan sesuatu hal yang ia tahu dengan banyak hal yang orang lain belum ketahui. Konon, penulis yang baik ialah menulis dari apa yang ia tahu, maka ketika ia menulis dengan mencari tahu tentang apa yang orang lain tidak tahu, itulah penulis yang lebih baik.
MADRE, merupakan buku Dee yang ketujuh, sekaligus kumpulan fiksi ketiga setelah Filosofi Kopi (2006) dan Rectoverso (2008). Madre diterbitkan oleh Bentang pada tahun 2011. Buku Madre ini berisi kumpulan fiksi yang beragam, dapat juga dikatakan sebagai kelompok pertanyaan yang berfusi (melebur) dengan sekelompok lamunan yang kemudian menghasilkan bermacam perenungan yang akhirnya tertuang menjadi kumpulan tulisan.
Madre sendiri dalam bahasa Spanyol berarti ‘Ibu’. Lalu apa hubungannya ibu dengan biang adonan yang mereka sebut Madre. Mungkin saja Dee mengambil makna yang tersiratnya, bahwa sebagai biang ialah asal mula sesuatu, sebagaimana anak mempunyai induk dimana mereka berasal.
Cerita inipun diawali oleh kedatangan seorang pria yang tidak terikat, bebas, berasal dari Bali. Pria dengan kulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan dan  jins sobek. Namanya Tansen, neneknya India, Ayahnya Manado. Datang ke Jakarta karena namanya tercantum sebagai ahli waris dari Tan Sie Gie.
Di sinilah kisah bermula dan sebagai ahli waris, Tansen, mendapatkan warisan berupa adonan biang, sebuah hal yang membawanya penasaran dan membuka sejarahnya yang lain.
“Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari? Kayak tahu-tahu kecemplung di pasir isap. Makin dalam makin sesak. Hidup saya hari kemarin lebih sederhana. Hari ini hidup saya sangat kompleks. Darah saya mendadak seperempat Tionghoa, nenek saya ternyata tukang bikin roti, dan dia, bersama kakek yang tidak saya kenal, mewariskan anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu; Madre. (MADRE;18)
Ramuan kedua
Bagaimanakah cara Dee meramu penjelajahan benaknya? Beragam pertanyaan berfusi dengan lamunan tentang semak bambu, mercusuar, layang-layang, ragi roti, acar bawang dan banyak hal lainnya pula hingga menghasilkan perenungan yang kadang malah membuat pertanyaan baru lahir  “kok bisa?”. Dee menuliskan semua tentang penjelajahan itu.
Dee juga mengemukakan unsur keragaman dalam ceritanya. Perbedaan daerah, suku, turunan, warna kulit serta  budaya di ceritakan dalam kedinamisan yang unik. Bukan sebagai pemecah, namun sebagai asset berharga yang kompak, menjadikan sebuah bangsa dikenang lebih hormat dan lebih lama, begitu pula menurut editor buku ini oleh Sitok Srengenge.
Membaca Madre, membuat kita merasa lapar, sebagaimana Filosopi kopinya Dee membuat kita dahaga. Begitu banyak penulis yang mengusung tema makanan, namun ia seperti berbeda. Dee bereksperimen sendiri bagaimana Madre yang sebenarnya, bagaimana jenis roti, bagaimana sebuah toko roti legenda mampu bertahan, bagaimana juga cinta antara mereka bisa tercipta. Sebuah warisan yang sangat menggelitik dan membuat penasaran. Di dalam eksperimennya pun ia seperti mengadon dan menguleni nya hingga menjadi sebuah karya yang patut di cicipi.
Selain Madre, ada juga cerita yang berjudul Rimba Amniotik, sebuah narasi yang berkisah tentang sesuatu yang tumbuh dalam perut seorang wanita, sebuah embrio yang bagi wanita memiliki perjalanan dan ikatan yang kuat. Seperti proses untuk sama-sama belajar mengapung bersama hidup, untuk berserah diri, meski proses  itu kadang tidak mudah namun selalu indah.
Cerpen “Have U Ever”, Dee kembali berselancar dalam pantai, ombak dan warna laut yang serupa, pada bulan agustus di Wotega. Dua orang sahabat yang memiliki pengalaman spiritual berbeda. Dee menceritakannya dengan gamblang, beserta pengaruh lokalitas dimana kisah itu diceritakan. Keajaiban yang ia cari, dihidangkan semesta baginya, ia lahap habis pada satu petang di titik paling utara benua Australia.
Dalam kisah lainnya pula “Menunggu layang-layang” bercerita mengenai Starla dan si aku Christian atau Che. Berawal dari persahabatan mereka berdua dimana Che tahu tentang segala hal yang Starla lakukan, karena Che adalah tempat sampah dan curhat bagi Starla. Kegemaran Starla bertukar pasangan membuat Che memberi tahu Starla tentang segala kemungkinan terburuk, apalagi ketika Rako_sahabat Che sejak Tk menjadi modus operandi Starla. Namun pada akhirnya tempat sampah itulah yang berharga, mereka tak bisa menampik bahwa mereka berdua saling jatuh cinta. Christian juga menyadari bahwa Starla bukanlah layang-layang dan ia bukan penunggu layang-layang.
Dari beberapa tulisan yang ditulis seperti puisi. Dee mengalami kelemahan dalam membangun kata. Dee memiliki kekuatan dalam bercerita namun tidak dalam berpuisi. Meskipun beberapa puisi yang ia tulis bisa dijadikan makna yang kembali mengacu pada pertanyaan baru dan berbeda. Itulah Dee.
Hal yang menarik lainnya dari cerita Dee ini ialah penggunaan antara narasi dan dialognya yang berkombinasi, variatif, segar  dan tidak memberatkan pembaca. Ia memiliki dialog yang tidak baku namun bersinergi dengan narasi yang tertata rapi.
Ramuan akhir
Pesona! Kita tidak cukup puas hanya jika nama kita dikenal sebagai penyanyi atau selebritas bahkan pemimpin suatu organisasi tanpa adanya sebuah karya yang bisa dijadikan tampilan pribadi kita. Karya buku bisa di kenang hingga seribu tahun lagi dan memberikan rasa timbal balik yang berharga bagi pembacanya.
Pesona inilah yang tidak dimiliki semua orang, ia harus berjuang dengan segala hal yang bisa melemahkan karya itu sendiri. Meski demikian, pesona juga bisa dimiliki jika kita mau belajar dan belajar, tidak merasa tinggi hati dan terus memperbaiki diri.
Maka, pesona apakah yang bisa membuat perut menjadi lapar. Dia lah Madre! Hidangan yang ditampilkan Dee dengan penuh rasa penasaran, pengetahuan hingga kita bersiap-siap akan tertawan. Selamat membacanya dan menikmati.

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”