Skip to main content

Gaun dari Sinar Bulan




Mimin memotong lobak di sumur belakang, mencuci dan memasukkannya ke dalam panci. Kemudian ia hidupkan kompor dan meletakkan panci di atasnya. Dapur kembali hidup. Kakak perempuannya, Aila, tengah mengupas kentang, mencincangnya dengan bentuk segitiga. Percikkan minyak terdengar ketika Aila memasukkan kentang. Sementara itu, Toro memotong-motong kacang panjang dan sedikit bercanda dengan menaruh potongan kacang di atas bibirnya.
“Aku seperti siapa ya?!” gelaknya diikuti tatapan serius Mimin yang melihatnya tak berhenti menganggu Ken, kucing kesayangan Mimin.
“Aku akan merapikan ruang tamu,” Cetus Mimin
“Kita tidak punya ruang tamu! Hanya ruang keluarga satu-satunya.” Aila membalikkan badan, menyodorkan tangkai sapu yang sejak tadi di sisinya.
“Jangan menyela. Sebentar lagi ayah pulang,” Sambung Toro pula, laki-laki berumur 15 tahun itu bangkit menyudahi pekerjaannya di dapur, ia masuk ke kamar. Ruang yang hanya diberi sekat triplek untuk melindungi ia berganti baju.
“Aku tak punya baju yang pantas untuk menyambut mereka,” Suara Toro membuat Aila kesal. Pagi begini mereka memang belum menyiapkan pakaian untuk nanti malam.
“Pinjam saja punya Ram,” teriak Aila
“Huh.. jangankan baju, rokok saja tidak mau ia pinjamkan.”
Aila dengan wajah yang masih kesal, menghempas panci. “Kau jangan coba-coba merokok,Toro!! Aku bisa membakarmu dengan rokok itu!”
Mimin terpaku, menghentikan pekerjaan menyapu lantai. Ia bisa amati Toro yang tengah memilah baju dari dalam kotak tua. Ibu mereka pasti melakukan hal yang sama pada Ayah jika Ayah kedapatan merokok. Hal yang sangat sia-sia, begitu ujar Ibu mereka dulu.
Tak lama, seusai Aila mencuci panci-panci dan mematikan api kompor, ayah mereka pulang. Ayah membawa sebotol sirup kental dari dalam tasnya juga sekantong cemilan kecil.
Ayah senang sekali dan karena ia sudah sangat lapar, Laila menaruh sepiring nasi di atas meja.
“Ayah senang?” Tanya Aila
“Jika kalian ingin Ayah senang, tentu saja.”
Dari balik triplek lainnya, Mimin duduk sembari memeluk lutut. Selesai tadi ia menyalami ayah, Mimin bersembunyi dan mengeluarkan airmata diumur dua belas tahunnya. Mimin ingin menguatkan hati bahwa ibu mereka menempati ruang lain di hati Ayah dan Ayah berhak untuk bahagia.
“Dimana Toro?” Tanya Ayah tiba-tiba
“Mungkin ke rumah Ram, Ayah,” jawab Aila. Padahal Toro mesti ke rumah Paman Husin untuk meminta upahnya bekerja di ladang seminggu penuh yang lalu. Toro menginginkan juga pakaian bagus yang bisa ia kenakan bersama dua saudara perempuannya itu.
“Ayah, Ibu tidak langsung kemari?” Aila membuka bungkusan cemilan di atas tikar pandan. “Bukankah ibu baru sudah jadi istri ayah?”
Ayah mengangguk.
“Ayah, apa ibu akan suka tinggal disini?”
“Ibu baru menyukai apa yang Ayah suka.” Tegas Ayah
Aila lega, meski begitu ia terus meraba-raba baju kemeja yang akan Ayah kenakan nanti malam_dengan perasaan yang sama sekali tak bisa ia mengerti.

***


Mimin tersentak. Ada Bibi Nini di samping ranjang mereka yang bergoyang. Bibi telah beberapa kali ke rumah mereka semenjak Ibu baru akan menjadi Ibu mereka. Bibi merupakan perwakilan Ibu jika hendak mendatangkan sesuatu ke rumah ini. Siang sudah merangkak turun dan cahaya nya yang masih menantang masuk melewati jendela tanpa gorden itu.
“Kau sudah bangun.” Bibi bangkit
“Apa ibu baru juga disini?”
“Tidak, sayang. Nanti malam kau akan melihatnya.” Bibi tampak mengamati semua ruangan. Ia meminta Mimin menunjukkan baju yang akan dipakai untuk nanti malam.
Mimin sodorkan gaun putih terusan. Gaun itu dibelikan Ayah tiga tahun silam saat kematian Ibu mereka. Lihatlah!! Gaun itu sedikit sempit dibagian lengannya dan mengantung di bagian betis. Mimin tersipu malu pada Bibi Nini.
“Tak apa Bibi. Kami tidak malu untuk memakainya. Mimin suka gaun ini. Gaun dari sinar bulan.”
“Gaun dari sinar bulan?” Tanya Bibi penasaran
Mimin mengangguk bangga.

Senja itu, selepas Toro membuka pintu lebar-lebar dan Aila merapikan meja makanan. Mobil berhenti di depan rumah.  Para tetangga sudah ada yang berdatangan dan duduk di bangku kayu. Ayah keluar dari pintu. Bibi Nini turun lebih dulu dari dalam mobil, memanggil Toro, Mimin dan Aila.
Bibi duduk di atas tumpukan  kardus, dan mata Mimin tak lepas dari posisi kardus yang agak miring di bagian sisinya. Ia berharap bulan akan bercahaya penuh malam itu, doa nya terkabul. Malam purnama seperti harapannya.
“Lihat! Ini untuk kalian. Ayo tukar gaun kalian segera!”
Aila dan Mimin saling pandang. Bibi menyodorkan kemeja putih untuk Toro. Indah sekali dalam penglihatan Mimin. Toro memakainya seketika itu, pun dengan Aila.
“Ini gaun sinar bulan, Mimin sayang.” Ucap Bibi
“Tidak!” sergah Mimin cemberut. Ia memeluk Ken dan mengelus kepalanya. Gaun dari sinar bulan adalah harta paling berharga, warisan dari Ibu mereka.
Toro melepas kembali kemeja itu. “Kami sudah punya pakaian Bibi. Ibu baru tak perlu membelikannya.”
“Oh Tuhan… kalian harus pakai. Ini pesta.” Bibi memaksa
“Ini pesta ayah dan ibu saja,” desah Aila
Bibi pun menyerah. Ia kembali ke dalam mobil dan membawa ibu keluar, sanak saudara ibu baru juga meramaikan pesta malam itu. Mimin menepi dan Toro mendampingi Ayah. Kepala warga menyambut kedatangan ibu baru di daerah itu. Mereka sudah menikah di kota, begitu menurut surat yang ditampilkan ayah.
Setelah berdoa dan mencicipi makanan alakadarnya, tamu dari tetangga sekitar sudah beranjak pulang. Dalam pikiran Mimin, ia harus mencuci piring dan gelas sebanyak itu. Piring-piring yang dititipkan Bibi pada mereka dua hari yang lalu. Ken tampak menjilati sisa-sisa makanan dan itu membuat Mimin sedikit lebih senang.
Ibu baru menghampirinya dan menyodorkan kue cake pada Mimin.
“Bisakah kau ceritakan pada ibu tentang gaun dari sinar bulan itu, sayang?”
Mimin bergeming, menghela napas dengan berat. Tidak biasanya ia kaku seperti saat ini. Aila berhenti dan menatapnya dari jarak lima meter.
“Apa ibu janji akan memakainya jika kuberitahu?” Mimin balik tanya
“Hmm…”

***


Mimin memeluk erat tangan Aila. Tangan mereka penuh dengan bungkusan-bungkusan besar. Di atas bangunan bertingkat tiga itu ada pesta kecil yang diadakan ibu untuk mereka dan keluarganya. Masih di malam yang sama, ayah tampak senang-senang saja dan berharap hal yang sama pada tiga anaknya.
Mimin, Toro dan Aila sudah sangat pasrah ada Ibu baru yang memakai gaun dari sinar bulan mereka. Bulan di langit pun bulat penuh dan bersinar bersama bintang-bintang lainnya.
“Aku ingat, panci-panci kita belum disimpan, Aila.” Bisik Mimin
“Hush, diam saja.”
Mereka tersenyum, karena ayah juga tersenyum. Mimin tak perlu menengadah ke langit untuk melihat bulan, karena lewat gaun yang di jahit dengan tempelan kaca tipis, Mimin dapat melihat pantulan sinarnya, sinar dari bulan.
Gaun yang dipakai ibu bersinar terang. Mimin, Toro dan Aila ingin secepatnya pulang.***

07092011.pekanbaru


Short story Cikie Wahab, cerpen ini terbit di Pekanbaru pos 1 January 2012

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”