Skip to main content

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"





Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu?
Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan.
Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum.
Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya.
“Malika. Ada apa ini? Kau kenapa?” Nadia bertanya keheranan.
Perempuan itu menggerakkan bibirnya tanpa suara.
“Dia sudah pergi. Dia membawa pikiranku. Dia…” terbata-bata perempuan itu bicara. Nadia menggenggam tangannya.
“Lika.” Dengan perasaan iba dituntunnya kembali perempuan itu ke dalam rumah dan mendengarkan penjelasan Malika.
“Hari itu ia datang. Aku lupa menutup pintu dan menemukan ia berdiri di hadapanku. Di sini, ya di sini!” Malika menunjuk lantai dan berdiri di atasnya.
“Siapa?” tanya Nadia.
“Tamim.”
“Apa yang ia katakan?”
“Dia mengunjungiku. Kau tahukan kalau dia suka padaku dan dia membawa sekantong penuh kartu pos.”
“Oh Tuhan. Masih ada hubungan dengan kartu sialan itu ternyata.”
“Ia menemuiku. Aku merasa ia benar-benar mencintaiku. Tapi…” ekspresi Malika berubah sedih. “Aku tidak menemukan dia lagi  setelah semalaman ia menemani aku di sini.”
 Nadia berdiri menatap Malika. “Malika, tidak ada Tamim. Dia tidak pernah kemari. Kau tahu itu. Dan bukankah kau sendiri yang bilang kalau ia akan menikah.”
“Tidak. dia tidak boleh menikah. Dia berbohong. Lalu kartu-kartu itu?”
“Aku sudah menghubunginya. Dia memang mengirimkan beberapa kartu pos itu. Dia memang sempat menyukaimu. Tapi dia tidak akan segila itu kemari dan melupakan kekasihnya yang baru.”
“Tapi bukankah dia menyukaiku? Lalu… kau pikir aku gila?” Malika menangis terisak-isak.
Nadia segera memeluk Malika erat-erat. Nadia tahu ada rasa kesepian dan bersalah di hati sahabatnya. Malika terpesona pada Tamim setelah berminggu-minggu mereka sudah tidak saling bicara melalui telepon. Dan Malika menyangka Tamim akan terus menyukainya sebagai seorang kekasih. Barangkali Tamim harus benar-benar datang agar Malika tidak memendam rasa kecurigaan dan halusinasi perempuan itu tidak bertambah parah dipenuhi rasa bersalah.***


:)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”