Skip to main content

Kamisan #5 S3 : Batu Akik~ RASA BATU




Pada masa kedatangan Han ke rumah keluarga besarnya, Antari duduk di teras. Menyaksikan sekelompok lelaki  yang mengitari meja, tengah membicarakan batu-batuan yang dibawa dari pantai oleh Antari sendiri. Sementara itu ada Mulio, adik lelaki Han yang menyodorkan batu akik dari kotak keramatnya yang usang.

Antari baru tiba di Kota itu setelah menempuh lima jam perjalanan dari pesisir laut. Ia turun dari bis dan menyewa tukang ojek yang cukup membuatnya kesal sebab terus-terusan memandang wajahnya. Antari juga memastikan bahwa Han akan datang ketika ia sudah ada di rumah keluarga besar lelaki yang ia cintai.

“Han dalam perjalanan. Dia bilang kau bisa melakukan apa saja asal tidak membicarakan apapun kepada para tetangga.” Mulio bicara seperti itu, setelah menelpon Han. Mama Han urung melanjutkan rajutannya. Ia resah sebab kedatangan tamu seorang perempuan, tetapi meskipun begitu, Mama terus-terusan tersenyum dan mengajak Antari bicara.

“Kau membawa keberuntungan, Antari. Batuku laku!” Mulio cengengesan. Di pandanginya batu indah yang belum diasah dan dilekatkannya ke salah satu cincin. “Aku minta ini boleh?” Tanya Mulio.

Belum sempat Antari menjawab. Mama melempari Mulio dengan kain rajutannya. Mulio mengelak. “Kalau kujadikan batu-batu ini cincin, pasti laku Mama. Aku akan membayar rajutan Mama ini.”

Antari terkikik. Ia tahu kalau Han pernah membicarakan batu-batuan yang ia senangi. Meskipun Antari tidak mengerti apapun, ia yakin Han pasti akan menyukai apa yang ia bawa.

***
Saat bunyi klakson terdengar di pintu depan. Mulio bergegas membuka pintu dan tersenyum melihat Han datang. Lelaki petualang itu memang jarang pulang. Mulio bersama Mama berdiri di pintu dan memeluk dirinya.

“Akhirnya kau pulang. Kau sehat?” Mama bertanya.

“Mama. Aku akan sehat-sehat saja.” Han mengecup kening Mama dan menikung lengan Mulio. Ketika melihat jemari itu, Han bicara dengan nada heran. “Darimana kau dapat membeli batu akik itu? Kau sudah bekerja?”

Mulio mencibir. “Tentu saja. Lagipula kekasihmu juga membawakan banyak batu. Hei kau tidak pernah bilang apa-apa pada kami tentang dirinya.”

Han terkesiap. Ia lupa perihal kedatangannya kali ini. Di abaikannya panggilan Mulio yang ingin menawari batu akik. Han masuk ke dalam rumah dan melihat Antari tersenyum padanya. Tiba-tiba ia merasa enggan bicara dan melihat batu-batu akik di tangan Antari. Han benar-benar tidak tahu kenapa ia tidak bisa bahagia melihat Antari datang dan sepenuhnya ia juga tidak bisa melupakan gadis di penginapan, itu sebabnya Han semakin tidak ingin membicarakan apapun pada Antari.

Antari tercengang melihat sikap Han. Ia tak sengaja menjatuhkan seluruh batuan akik di tangannya ke lantai dan memeluk Han dari belakang.

Batu-batu itu mengelinding dan berserakan, sementara Han diam mematung dipeluk perasaannya yang bimbang.





Comments

  1. Tokohnya utamanya slalu han dan antari,,padahal dr sudut cerita dah berbeda,mungkin di ganti dgn nama tokoh lain bisa jd lebih menarik mbak..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”