Skip to main content

Cerpen: Red Velvet




Kata ibuku, aku dilahirkan untuk menjadi perempuan yang menyenangkan hati  siapa saja, terutama para pria. Perempuan yang menjadi pusat perhatian dan menghapus segala kerunyaman di kepala mereka. Tapi sejujurnya perkataan ibu membuatku mulas setiap kali berhadapan dengan para pria. Apalagi bagi mereka yang memiliki masalah ketidakstabilan emosi dan mereka yang jarang mandi pagi.
Menurut ibu pula, aku digambarkan sebagai hidangan penutup yang mengakhiri kenikmatan citarasa, memiliki keunggulan serta harga yang membuat kantong mereka menganga. Tapi hal itu juga tidak kusetujui. Sebab aku ingin menjadi hidangan utama dan melekat selama-lamanya di lidah para pria.
Aku masih saja memikirkan perkataan ibu, saat menaruh botol madu ke atas meja. Di meja itu pula, kuletakkan bunga lili dalam botol kaca dan beberapa tangkai kembang kertas berwarna kuning, merah dan ungu. Dalam nampan berwarna perak, kuletakkan dua potong kue Red Velvet dan segelas air yang dicampur madu. Mengenai potongan kue berwarna merah itu, aku kembali mengingat percakapan dengan ibu.
“Makanan ini mahal.” Ibu mengeluarkan hidangan itu dari lemari dan berpesan padaku, “Jangan sekali-sekali kau menangisi makanan ini.”
“Kenapa memangnya, Bu?” tanyaku dengan sangat polos. Aku  sangat ingin mencicipinya waktu itu.
“Pokoknya jangan! Kasihan. Kan sudah ibu bilang ini mahal. Makanan ini hanya untuk orang yang spesial.”
“Tapi Bu. Di buku…”
“Jangan membantah. Kau pergilah ke kamar. Aku akan keluar.”
Ibu kulihat memotong beberapa bagian kecil kue itu dan membawanya dalam piring. Ibu juga tidak menjawab pertanyaanku saat ia terus menuju pintu. Aku mengintip dan melihat ia pergi ke badan jalan lalu ke arah petani bunga yang biasa singgah dengan mobilnya. Mereka bicara cukup lama lalu setelah itu kulihat ibu memberikan kue kepadanya. Sial! Batinku. Itukah orang spesial bagi ibu? Aku mendesah. Menatap kue sisa potongan di meja
Kembali pada apa yang aku lakukan sejak tadi. Aku menarik satu kursi dan duduk. Kuambil sendok kecil dan kucicipi Red Velvet buatanku sendiri. Aku menghabiskan banyak uang untuk melakukan banyak percobaan mengikuti resep yang ibu berikan. Ibu meyakinkanku agar aku bisa berbuat apa saja, termasuk membuat hidangan seperti ini.
Saat suara sepatu terdengar di depan pintu, aku terkesiap. Lamunanku terhenti dan menoleh ke arah pintu.
“Han? Kau kembali? Duduklah.” Aku girang melihatnya. Aku menunjuk ke kursi satunya lagi dan meletakkan gelas berisi madu ke hadapannya. Han mendekat dan duduk. Ia melihat apa yang ada di meja. Ia menarik napas.
“Kau membuatnya sendiri?” Tanya Han.
“Ya. Ibu yang mengajariku. Kau mau? Makanlah.”
“Untukku?”
“Tentu saja. Katakan padaku kau darimana?”
Han bersandar dan meneguk minuman yang kuberikan. Aku terus memperhatikan wajahnya. Warna kulitnya yang menghitam dan bulu matanya yang jatuh. Ia begitu tenang dan piawai mengendalikan suasana. Tapi kali ini, aku melihatnya sangat tidak bersemangat. Biasanya ketika ia melihatku, ia akan tertawa dan girang luar biasa sama seperti pengunjung yang datang ke penginapan kami. Ternyata perkataan ibu tidak sepenuhnya benar. Aku tidak mampu menentramkan  hati lelaki ini.
Aku bertanya pada Han dan kuresapi setiap desah napasnya. Ia pun mulai bicara.
“Saat aku di pantai. Mengenal Antari dan melihat cahaya matahari lewat jendela yang terbuka. Aku seperti dipenuhi cahaya. Silau dan begitu hangat. Perempuan itu sama seperti biasanya, ketakutan untuk kutinggalkan. Meskipun ia tahu aku bukanlah miliknya.”
“Kau menyesal meninggalkannya?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Akh.. aku lapar. Boleh kuminta kue ini lagi?” Han mengalihkan pembicaraan. Aku tentu saja menambah potongan Red Velvet ke piring dan masih duduk di sana sambil mengikat bunga kembang kertas yang masih tergeletak di atas meja.
Han yang manis. Ia lelaki yang baik. Salah satu hal yang membuat ia kerap singgah di penginapan ini adalah pekerjaan dan juga kesabaranku mendengarkan setiap ceritanya yang selalu punya kekuatan. Aku suka mendengarkan perjalanan siapa saja yang ingin bercerita. Bukankah memang tugasku seperti itu, kata Ibu suatu kali.
Dan salah satu cerita Han yang pernah kudengar adalah tentang Antari. Perempuan pantai yang pernah menjadi kekasihnya. Han menyebutkan dirinya tidak bisa tinggal di pantai lebih lama. Mereka berdua punya kehidupan yang sangat berbeda.
“Kalau kau terus-terusan membuat kue seperti ini. Aku akan sering menginap di sini dan mencicipinya.”
“Haha. Kau tidak bisa kemana-mana kalau begitu. Kata ibuku, kue ini hanya untuk orang spesial.”
“Aku spesial?” Han memberikan pertanyaan yang membuatku tersipu. Itu benar sekali, namun sayang. Han tidak bisa dimiliki. Ia seperti burung yang bebas terbang di angkasa. Cukuplah Red Velvet ini yang mengingatkan ia kepadaku.
“Darimana bunga itu?” Tanya Han.
“Bunga ini dibeli Ibu dari petani bunga yang biasanya mampir ke penginapan.”
“Bunga yang bagus. Kau tidak ingin menanamnya sendiri?”
“Tentu saja aku ingin. Tapi aku butuh seseorang untuk menemaniku berkebun bunga.”
Han mendelik dan tertawa. Aku ikut-ikutan tertawa dan ia terus saja bertanya tentang segala sesuatu. Bahkan ketika sebutir telur yang lupa kutaruh di keranjang dilihat oleh Han dan ia kembali bertanya. Ia menanti jawabanku dengan tatapan menggoda.
“Aku baru saja ingin membuat masker telur dengan madu. Tapi melihat kau datang aku jadi lupa. Penginapan ini akan sepi jika aku tidak bisa membuat tamu gembira bukan? Aku harus membuat dua orang pegawaiku kelihatan cantik dengan masker itu. Ibu akan marah jika tahu aku tidak melakukannya. Aku juga tidak ingin menghabiskan kue ini sendirian. Aku tidak boleh menangisinya sebab ia kue yang mahal.”
Han tertawa sangat keras.
“Kau gadis yang lucu yang patuh pada ibumu. Aku lupa masalahku jika berada di dekatmu. Benar sekali, kau harus menurut dan mengerjakan semuanya. Kalau tidak kau bisa kehilangan banyak pelanggan.” Han mengakhiri tawanya dan bertanya, “Ada mobil di parkiran membawa kotak besar, siapa itu?”
Aku diam dan mencoba mengingat siapa yang menginap.
“Oh itu Tuan Fa. Ia menginap sejak kemarin dan mencoba teh ginseng buatan ibuku. Sejujurnya separuh Red Velvet ini akan kuhidangkan untuknya, Han.”
“Hm, begitu. Ibumu paham sekali melayani orang-orang seperti itu. Apa kau harus menemaninya juga?” pertanyaan Han membuatku kesal.
“Tuan Fa datang bersama istrinya. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Ia membawa alat pemanas air dan istrinya juga memberi ibuku beberapa bahan makanan. Kau tahu di penginapan ini ibuku sangat ramah. Orang-orang suka meninggalkan hadiah untuknya. Aku tidak suka kau menganggapku serendah itu.”
Han menyentuh tanganku. Lalu ia berkata, “Kau sangat cantik. Aku takut ibumu memanfaatkan kecantikanmu untuk berbuat lebih kepada para tamu di sini.”
“Ibuku tidak seperti itu, Han. Aku memang bertugas agar membuat kalian nyaman, tapi bukan menemani kalian di ranjang. Seperti Red Velvet ini. Ia kue yang cantik dan sangat enak. Tidak sembarang orang yang akan mencicipinya kecuali ia dibawa kepada orang yang sembarangan pula. Mengertilah.” Tiba-tiba saja aku merasa sangat sedih di hadapan Han.
“Kau menangis? Maafkan aku.” Han meremas jemariku.
“Kau perempuan yang baik. Sangat baik hingga membuat semua orang termasuk aku, suka datang bercerita kepadamu. Entah berapa banyak kisah yang aku ceritakan padamu. Tapi aku tidak pernah menanyakan kisahmu sendiri. Maafkan aku, aku terlalu egois ingin dilayani sebagai tamu. Tolong jangan menangis.” Han menyentuh pipiku. Air mataku hampir jatuh.
“Oh tidak. Aku tidak boleh menangis.” Aku gelagapan menyeka mata dan pipiku. Tapi Han menahan tanganku dan menyuapkan satu sendok Red Velvet ke mulutku. Aku terdiam. Rasanya segala kesedihanku hilang. Dan suara ibu memanggil-manggil dari pintu depan.
“Pergilah. Aku akan tetap di sini menunggumu datang.” Ucap Han dengan sangat tenang. Kuperhatikan kue tadi dan kubisikkan pada Han. “Jika kau membuatku menangis, Kau tidak bisa menccicipi kue ini lagi.”
Han tertawa dan aku segera berlalu darinya.***


Pekanbaru.14 Februari 2015










 Tema Kamisan 3 #3. Juga terbit di Padang Ekspres 8 Maret 2015


Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”